Biografi Syekh Prof. Dr. Ibrahim Al-Bajuri




Nama Al-Bajuri merupakan nama yang tak asing lagi di kalangan para pelajar madzhab Syafii, hal ini karena salah satu kitab Fiqih yang menjadi kurikulum menengah adalah  Hasyiyah al-Bajuri syarhu Matni al-Ghoyah wa at-Taqrib, kitab ini biasanya dipelajari di daerah-daerah Syafiiyah khususnya Indonesia dan seluruh dunia umumnya.





Profil Syekh Ibrahim Al-Bajuri

Nama beliau adalah Burhanuddin Ibrahim Al-Bajuri bin Syekh Muhammad Al-Jazawi bin Ahmad. Tepat pada Tahun 1198 H/1783 M beliau dilahirkan di desa Bajur, sebuah desa di provinsi Al Manufiyah, Mesir.

Beliau lahir dan tumbuh di keluarga yang memegang teguh pada Islam sebagai pedoman hidup, sejak kecil beliau telah tumbuh dan  hidup dalam kalangan orang sholeh, karena orang tua beliau merupakan seorang ulama yg alim dan saleh. Sebab itulah beliau senantiasa dididik dengan ilmu agama. Pada masa kecilnya, beliau telah belajar al-Qur’an dan memperbaiki kualitas bacaannya dengan bimbingan ayahnya sendiri.

Tahun 1212 H/1796 M beliau berangkat ke al-Azhar untuk mengambil ilmu dari para syekh di universitas tertua tersebut. Pada tahun 1213 H/1798 M penjajahan Perancis terhadap Mesir membuat studinya di Kairo sedikit terganggu dan kondisi tersebut memaksanya pindah sementara waktu ke desa Jizah, Provinsi Fustat.

Dan pada tahun 1216 H/1801 M Setelah penjajahan Prancis berakhir, beliau kembali melanjutkan studinya di Ibu Kota itu. Selama di al-Azhar, Syekh Ibrahim al-Bajuri sangat giat dan tekun dalam mengikuti pembelajaran dengan para gurunya, diantara adalah al-Allamah Syekh Muhammad al-Amir al-Kabir al-Maliki.

Dalam masa yang begitu muda, Ibrahim al-Bajuri telah mampu menghasilkan beberapa buah karya yang begitu bernilai, hal ini tentu saja disebabkan kepintaran dan keberkatan ilmunya, salah satu kitab yang dikarang beliau sendiri adalah ‘Tuhfatu al-Murid 'ala Syarhi Jauharatu at-Tauhid’. Kebanyakan kitab beliau banyak mengenai masalah Akidah. Beliau termasuk salah seorang ulama yang giat dalam menyebarkan akidah Ahlusunah Waljamaah sesuai manhaj Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari (Asya'iroh), sesuai dengan manhaj yang dipertahankan al-Azhar as-Syarif hingga saat ini. Tak hanya itu, beliau juga menjadi pakar dalam berbagai bidang ilmu keislaman. Seperti fikih, hadis, tafsir, usul fikih, dan mantik. Dan sempat juga mengantarkannya menempati tempat terhormat sebagai salah satu Syekh al-Azhar pada tahun 1847 M. Beliaupun melahirkan banyak cendekiawan Mesir yang reputasinya diakui dunia, yang diantaranya adalah Syekh Rifa’ah at-Thahthawi.

Menjadi Grand Syekh Al-Azhar

Setelah Imam al-Bajuri mendapatkan ilmu yang banyak dari para gurunya pada akhirnya dia pun diangkat menjadi seorang tenaga pendidik di al-Azhar as-Syarif dengan tekun dan keikhlasan, mampu memulai kehidupannya dengan mengajar dan belajar, hingga pada akhirnya mendapat posisi yang tinggi di al-Azhar pada tahun 1263 H/1847M dan diangkat menjadi syekh al-Azhar ke-19 dengan menggantikan Syekh Ahmad as-Shafti yang telah meninggal.  Pada saat itu pemimpin Mesir Abbas I beberapa kali mengikuti pengajiannya di al-Azhar dan mencium tangan beliau.

Di zaman pemerintahan Said Pasha, Syekh Ibrahim al-Bajuri jatuh sakit, sehingga kerepotan mengurus al-Azhar. Kemudian urusan administrasi al-Azhar diwakilkan kepada empat orang yaitu Syekh Ahmad Al-Adawi, Syekh Ismail al-Halabi, Syekh Khalifah al-Fasyni, dan Syekh Musthofa al-Shawi. Empat orang syekh tersebut kemudian mengangkat seorang ketua yaitu Syekh Musthofa al-Arusi. Al-Azhar tidak mengangkat syekh al-Azhar lain hingga Imam Bajuri wafat.

Setelah menyebarkan ilmunya kepada generasi selanjutnya, akhirnya Imam Ibrahim al-Bajuri menghembuskan nafas terakhirnya dan meninggalkan dunia yang fana ini untuk menghadap Allah SWT dengan tenang dan rida. Sang imam meninggal dunia pada hari kamis tanggal 28 Dzulqo'dah tahun 1267 H/19 Juli 1860 M, ribuan pelayat hadir untuk menyalatkan imam besar Ibrahim al-Bajuri. Disholatkan di Masjid al-Azhar as-Syarif dan dimakamkan di kawasan Qurafah al-Kubra masyhur dengan sebutan al-Mujawarin.

Konon, K. H. Ahmad ar-Rifai Kalisalak, merupakan salah satu murid Syekh Ibrahim al-Bajuri. Asumsi ini, menurut Djamil dalam bukunya Perlawanan Kiai DesaPemikiran dan Gerakan Islam K. H. Ahmad Rifa’i Kalisalak, seperti yang dikutip Islam dalam bukunya Puisi Perlawanan dari Pesantren. Asumsi ini didasarkan pada kuatnya pengaruh karya Syekh al-Bajuri, seperti Tuhfah al-Murid dan Hasyiyah al-Bajuri terhadap karya-karya K. .H. Ahmad ar-Rifa’i. Selain itu, bila dilihat dari keterpautan tahun hidup keduanya dimungkinkan untuk bertemu. K. H. Ahmad ar-Rifa’i hidup pada 1786 M, dan sempat menimba ilmu di Makkah selama delapan tahun, 1833 – 1841 M. Syekh Ibrahim al-Bajuri lebih tua dua tahun dari K. H. Ahmad ar-Rifa’i.

Sosok Syekh al-Bajuri dikenal sebagai ahli mantik, sehingga bila kita membaca karya-karya beliau terlihat sekali sangat dipengaruhi oleh ilmu logika tersebut. Selain itu, Syekh al-Bajuri juga hidup di masa penjajahan Prancis terhadap Mesir yang membawa berkah tersendiri bagi para cendekiawan yang hidup pada saat itu. Gubernur Mesir pada saat itu, Muhamad Ali, melakukan upaya yang begitu signifikan dalam menyerap ilmu-ilmu yang datang dari Eropa. Ia mengirimkan sekian banyak cendekiawan untuk belajar langsung di berbagai negara barat, seperti Prancis, Inggris, Jerman, dan lain sebagainya. Selain itu, ia juga melakukan penerjemahan karya-karya barat secara besar-besaran.


Oleh: Atik Mahirotul Mahfudhoh

1 Komentar

To Top