“Harapan Kebebasan”

 

Di bawah langit mendung tak berwarna, sepasang kakak adik bersimpuh dan menatap kosong sekelilingnya. Mereka duduk di atas pecahan tembok berwarna yang telah berubah menjadi abu. Dengan suguhan hamparan yang telah tenggelam oleh bercak darah manusia-manusia tak berdosa. Perasaan pilu mengiringi hidup yang mereka hadapi. Semenjak semua luluh lantak tak bersisa, berpegangan erat saling menguatkan menjadi kebiasaan mereka berdua.

Bangunan-bangunan menjulang dengan pondasi yang kuat juga luluh lantak dengan rudal yang dikirimkan oleh orang-orang tak bertanggung jawab. Hujan yang turun pun tak bisa menghilangkan bercak tersebut, karena yang turun adalah tangisan manusia yang merintih kesakitan demi mempertahankan agama Tuhan. Siulan burung memecah lamunan mereka.

“Kak, aku bingung. Apakah aku harus marah pada mereka yang telah menghilangkan orang tua kita. Ataupun aku harus bahagia karena mereka membuat orang tua kita hidup nyaman di Surga tanpa kebisingan rudal-rudal yang memekakkan telinga.”

“Aku pun sama, Dik. Terkadang aku merasa ingin menyusul mereka saja agar hidupku tenang. Tapi sayang, ibarat cinta yang bertepuk sebelah tangan, aku hanya menyukainya sepihak dan rudal itu tak menyukaiku hingga saat ini.”

“Jangan segera menyusul, Kak. Aku masih ingin mendengarkan polemik percintaanmu.”

“Pikiranmu percintaan saja, Dik.” Diiringi gelengan kepala keheranan.

“Bagaimana lagi, Kak. Waktu remajaku mereka ambil tanpa izin, seakan sekarang mereka menjadi pengatur jadwal kematian banyak orang.”

“Sudah, mari kita kembali untuk istirahat selagi bisa. Besok di sini kita menuang rindu lagi.”

Mereka berjalan perlahan melewati reruntuhan yang bermacam-macam ukurannya dengan iringan udara yang merusak pernafasan. Pemandangan yang tak pernah berubah ketika mereka sampai gerbang pengungsian. Para relawan berlalu-lalang sibuk menghantarkan penumpangnya. Jas putih bersih berlambangkan logo sebuah rumah sakit mulai bercorak merah, rengekan kesakitan juga tak henti disuarakan.

Mereka langsung merebahkan diri di atas karpet yang berlumuran gelisah, berselimut ketakutan yang tak berkesudahan, berbantalkan pikiran yang tak ada ujungnya, juga memeluk guling yang berisi harapan kebebasan. Mereka tenang hari ini, belum tentu esok pagi. Hingga lantunan teriakan kesakitan membangunkan, hal yang sudah biasa mereka dengar belakangan ini.

“Dik, ayo bangun! Mari kita salat Subuh.”

“Baik, Kak.” Dengan tubuh yang masih belum lengkap nyawanya.

“Sepertinya, tidurmu pulas sekali, Dik. Padahal pekikan perusak gendang telinga itu semakin kencang.”

“Benar, Kak. Mengapa tidak sekalian aku tertidur selamanya saja, ya? agar telingaku tidak semakin sakit.”

Kesyahduan Subuh berlalu, sang penerang semesta mulai muncul perlahan-lahan. Seperti biasa, lalu-lalang tak pernah sepi oleh manusia-manusia berdarah juga hiruk pikuk suara tangisan yang tak kunjung padam. Bedanya hari ini, sesosok wanita membawa mik serta kamera berada di depan pengungsian mereka.

“Mengapa mereka mau mempertaruhkan nyawanya ke tempat ini ya, Kak? Apakah hanya demi mendapatkan harta dan validasi dunia karena berbelas kasih pada kita?”

“Hust! jaga omonganmu. Mereka hanya pekerja yang digaji, melihat keadaan kita untuk dilaporkan agar seluruh semesta tahu."

“Tahu tentang apa? Tentang konspirasi dari ucapan-ucapan yang dilaporkannya? Atau video-video yang belum tentu kebenarannya?”

“Jangan berfikir seperti itu, Dik. Buktinya saja banyak negara dan warganya yang membantu kita. Memboikot produk pendukung seberang juga mengirimkan kardus-kardus penunjang kehidupan.”

Mereka Larut dalam obrolan yang sedikit serius, mengomentari perlakuan dunia pada mereka dengan jemari yang tak henti menghitung lantunan zikir. Sehingga kapan saja rudal itu menyukai mereka, mereka sudah siap untuk menerimanya. Berita-berita pun semakin luas, karena digitalisasi membantu penyebarannya. Hingga fatwa-fatwa ulama besar menjadi highlight di dunia. teror-teror semakin bertebaran pada mereka yang mempropagandakan kebebasan. Manusia yang tak terima mulai melakukan perlawanan, manusia yang lembut hatinya mengumpulkan berbagai rezeki dari Tuhan, hingga seluruh manusia di dunia kompak menggunakan satu kode yang sama dalam barisan. Mereka berharap, hirup udara itu dapat kembali bersih dan dinikmati seperti sedia kala.

Hari-hari mereka bukan lagi tentang sarapan bersama keluarga di pagi hari, bukan lagi les untuk mengejar ujian, juga bukan lagi tentang masalah percintaan yang penuh kerumitan. Hari mereka hanya tentang berkeyakinan pada Tuhan bahwa penjajahan ini akan segera usai, baik dengan kebebasan atau dengan kematian. 

Matahari mulai ingin pergi dari persinggahannya, sebuah rutinan sepasang kakak adik ini mulai mereka lakukan. Duduk di atas reruntuhan tembok berukuran setengah meter bekas tempat pulang mereka yang paling indah, akan tetapi sekarang menjadi tempat paling menyedihkan karena telah menelan seluruh keluarga mereka. Mengobrol sambil menunggu rudal itu menyukainya, menyesal dengan bantahan pada larangan yang dibuat orang tua mereka, juga menyampaikan rindu yang tak akan terbalas oleh pertemuan.

“Kak, sampai kapan kita akan seperti ini? Mengapa rudal itu tak segera menyukaiku? Apa yang kurang dari aku sehingga tak diliriknya?”

“Bukan begitu, dia tidak sempat melihatmu, Dik. Seseorang yang cantik sepertimu tidak mungkin ditolak olehnya. Jatuh cinta kan kebanyakan melihat fisik.”

“Semoga saja, Kak. Aku sudah tidak tahan dengan rasa yang menyiksa ini.”

Mereka saling diam dan tersenyum, hingga matahari benar-benar pergi digantikan oleh saudaranya. Langit gelap tak berbintang karena asap-asap masih betah menghalanginya. Tanpa mereka sadari, rudal itu mulai menyukai mereka dan mencari jalan untuk mendekati calon kekasihnya.

“Lihat, Kak! Kecantikanku sudah meluluhkan dia sepertinya.” Sembari menatap sang kakak dengan senyum paling merekah.

Malam itu, Tuhan telah mengabulkan harapan paling tinggi mereka, membuang kegelisahan mereka, dan menghempas jauh-jauh ketakutan mereka. Sehingga tidak ada lagi obrolan rindu sore hari, tidak ada lagi kebisingan, juga tidak ada lagi lalu-lalang rumitnya kehidupan. Tuhan telah menggantikannya dengan segala kebahagiaan. Ya, mereka bertemu dengan keluarga tercinta mereka. 


Penulis: Arifatun Nisa Birizqil Adhim

Editor: Lalu Azmil Azizul Muttaqien

Posting Komentar

To Top