Mengapa Manusia Harus Berfilsafat?
Kata “filsafat” sering kali dipersepsikan
sebagai hal yang sulit dan rumit. Tak jarang muncul stigma bahwa filsafat
adalah sesuatu yang tidak bisa digeluti oleh semua orang. Akibatnya, muncul mispersepsi
mengenai term tersebut. Memang tidak mudah untuk memahaminya secara mendalam.
Dibutuhkan kajian dan penalaran yang objektif agar penilaian yang muncul tidak
sekadar afirmasi atau negasi secara serampangan. Namun, untuk mengetahui apakah
kita mampu untuk berfilsafat atau tidak, sebenarnya sederhana.
Memang, dalam sejarah perkembangan filsafat
tidak ada definisi yang dapat menjelaskan term tersebut secara konkrit. Para
filsuf, seiring berkembangnya zaman, juga berbeda pendapat terkait definisi
filsafat. Beberapa dari mereka ada yang mendefinisikannya sebagai cinta
terhadap kebijaksanaan. Sedangkan yang lainnya mendefinisikan filsafat sebagai
ilmu pengetahuan. Selain itu, sebenarnya masih banyak lagi definisi-definisi
seputar filsafat yang sangat beragam. Perbedaan tersebut timbul karena beberapa
faktor dasar: Pertama, perbedaaan siapa yang mendefinisikannya. Kedua,
perbedaan tempat dan lingkungan. Ketiga, perbedaan masa.
Jika dilihat, faktor pertama memang sangat
signifikan dalam menimbulkan perbedaan definisi mengenai filsafat. Setiap orang
memiliki pendekatan yang berbeda dalam memaknainya. Misalnya, mayoritas orang
beragama mendefinisikan filsafat sebagai alat penunjang untuk memahami wahyu Tuhan. Adapun ateis, orang yang tidak memercayai keberadaan tuhan, tentunya
tidak akan memaknai filsafat sebagaimana kaum beragama. Paling tidak, mereka menghilangkan
pemakian kata “tuhan” dalam definisinya. Dari ilustrasi tersebut, cukup jelas
bagaimana perbedaan kalangan dalam memaknai term filsafat menyebabkan distingsi
definisi yang cukup signifikan.
Perbedaan tempat dan lingkungan juga memengaruhi
variasi definisi dalam kasus ini. Sebagai contoh, definisi yang dihasilkan oleh
bangsa Yunani berbeda dengan bangsa Arab. Begitu pula definisi keduanya akan
berbeda dengan beberapa bangsa lainnya. Hal ini disebabkan latar belakang
budaya dan adat yang sangat majemuk, sehingga memengaruhi cara pandang mereka
terhadap suatu objek.
Adapun mengenai persoalan masa, jika kita
amati, pada era Yunani kuno, filsafat cenderung didefinisikan sebagai ilmu
pengetahuan, sehingga diskursus sains seperti biologi, fisika, kimia, dan lain
sebagainya terkumpul menjadi satu dalam naungan filsafat. Akan tetapi, seiring
berkembangnya ilmu pengetahuan dan diskursus lainnya, filsafat berevolusi
menjadi objek kajian yang berbeda. Perkembangan dan perbedaan era tersebut pada
akhirnya kembali mengubah definisi dari filsafat itu sendiri.
Hemat saya, berbagai perbedaan tadi dapat
dijadikan salah satu penyebab munculnya stigma sebagaimana yang telah
dipaparkan di awal. Maka tak ayal jika anggapan tersebut seolah melekat dalam
benak mayoritas masyarakat. Kiranya, begini kalimat yang muncul dari mereka,
“definisinya aja sulit, apalagi isinya.”
Namun, dalam definisi filsafat yang sangat
beragam, terdapat satu definisi yang bisa menaungi keseluruhannya, yakni kegiatan
berpikir dan penggunaan akal secara rasional serta proporsional. Setidaknya, definisi
ini disepakati oleh para filsuf, agamawan, dan ilmuwan. Selain itu, definisi
ini disepakati oleh seluruh manusia yang berada di belahan bumi mana pun, baik Barat
maupun Timur. Definisi ini menaungi segala jenis perbedaan yang timbul akibat
perbedaan masa. Jadi, filsafat sebagai kegiatan berpikir secara rasional dan
proporsional menurut saya merupakan definisi yang universal.
Kegiatan berpikir dengan menggunakan akal
secara rasional dan proporsional merupakan anugerah luar biasa bagi manusia. Dengan
bekal akal, manusia dapat menciptakan berbagai penemuan dan teknologi mutakhir,
seperti yang kita lihat saat ini. Keistimewaan tersebut juga menjadi pembeda
dari makhluk lainnya, karena akal hanya dimiliki dan diberikan kepada manusia.
Dalam hal ketahanan fisik misalnya, manusia
sangat lemah jika dibandingkan dengan hewan berbulu tebal seperti Beruang Kutub.
Ia memiliki ketahanan kuat dalam suhu dingin yang ekstrem, sehingga hewan
tersebut dapat bertahan hidup di Kutub Utara. Sedangkan Manusia tidak memiliki
bulu tebal yang bisa melindunginya dari suhu yang sangat dingin. Akan tetapi,
dengan nalar berpikirnya, manusia mampu menciptakan jaket, selimut, dan
penghangat ruangan untuk melindungi dirinya dari suhu iklim yang ekstrem.
Dalam hal mobilisasi, manusia tidak
memiliki keistimewaan yang unggul dibandingkan Citah yang memiliki kecepatan
rata-rata berlari sejauh 105 km/jam. Akan tetapi, dengan menggunakan akalnya
secara rasional dan proporsional, manusia mampu menciptakan mobil yang
mengungguli kecepatan berlari Citah.
Dalam hal eksplorasi, manusia tidak lebih
unggul dari ikan di laut. Begitu pula tidak lebih unggul dari burung di langit.
Akan tetapi, dengan berpikir dan berfilsafat, manusia mampu menciptakan kapal
selam untuk menjelajahi lautan yang luas. Begitupun pesawat jet untuk
menjelajahi langit.
Contoh-contoh tersebut menggambarkan bahwa
segala bentuk keunggulan manusia dibandingkan makhluk lainnya bertendensi pada
penggunaan akal dan filsafat. Tanpa adanya aspek itu, umat manusia tidak akan
lebih unggul dari makhluk-makhluk lainnya dalam seluruh aspek kehidupan.
Bahkan, untuk menyamainya saja hampir tidak mungkin.
Dengan memahami definisi dan ilustrasi
terkait urgensi filsafat ini, kita tahu bahwa filsafat bukanlah hal yang jauh
dari kehidupan umat manusia. Bahkan, filsafat merupakan komponen fundamental
dan krusial dalam kehidupan sehari-hari, baik berupa hal-hal besar seperti
pengambilan keputusan untuk masa depan maupun hal kecil seperti memilih bahan
makanan, memasaknya, hingga menyajikannya. Semua perkara tersebut tentu
memerlukan pertimbangan akal secara filosofis dan rasional agar keputusan yang
diambil bisa tepat.
Sejak dilahirkan, manusia sebenarnya sudah
berfilsafat. Oleh karena itu, segala bentuk pertimbangan dan pemikiran yang
proporsional serta rasional menjadi penting. Tanpanya, manusia hanya makhluk
hidup yang lemah dalam berbagai aspek kehidupan. Sehingga, tidak berlebihan
jika dikatakan bahwa filsafat merupakan syarat utama menjadi manusia secara
utuh.
Walhasil, stigma filsafat yang begitu
rumit, sulit, dan tidak bisa digeluti khalayak umum merupakan anggapan yang
kurang benar. Nyatanya, filsafat merupakan hal aplikatif yang bisa kita
terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, tanpanya, kehidupan akan terasa
sulit dan rumit untuk dijalani.
Penulis: Jawahir Kamal
Editor: Reza Mufarid
Posting Komentar