Mengapa Manusia Harus Berfilsafat?

sumber: https://pin.it/3Xck5h8

Kata “filsafat” sering kali dipersepsikan sebagai hal yang sulit dan rumit. Tak jarang muncul stigma bahwa filsafat adalah sesuatu yang tidak bisa digeluti oleh semua orang. Akibatnya, muncul mispersepsi mengenai term tersebut. Memang tidak mudah untuk memahaminya secara mendalam. Dibutuhkan kajian dan penalaran yang objektif agar penilaian yang muncul tidak sekadar afirmasi atau negasi secara serampangan. Namun, untuk mengetahui apakah kita mampu untuk berfilsafat atau tidak, sebenarnya sederhana.

Memang, dalam sejarah perkembangan filsafat tidak ada definisi yang dapat menjelaskan term tersebut secara konkrit. Para filsuf, seiring berkembangnya zaman, juga berbeda pendapat terkait definisi filsafat. Beberapa dari mereka ada yang mendefinisikannya sebagai cinta terhadap kebijaksanaan. Sedangkan yang lainnya mendefinisikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan. Selain itu, sebenarnya masih banyak lagi definisi-definisi seputar filsafat yang sangat beragam. Perbedaan tersebut timbul karena beberapa faktor dasar: Pertama, perbedaaan siapa yang mendefinisikannya. Kedua, perbedaan tempat dan lingkungan. Ketiga, perbedaan masa.

Jika dilihat, faktor pertama memang sangat signifikan dalam menimbulkan perbedaan definisi mengenai filsafat. Setiap orang memiliki pendekatan yang berbeda dalam memaknainya. Misalnya, mayoritas orang beragama mendefinisikan filsafat sebagai alat penunjang untuk memahami wahyu Tuhan. Adapun ateis, orang yang tidak memercayai keberadaan tuhan, tentunya tidak akan memaknai filsafat sebagaimana kaum beragama. Paling tidak, mereka menghilangkan pemakian kata “tuhan” dalam definisinya. Dari ilustrasi tersebut, cukup jelas bagaimana perbedaan kalangan dalam memaknai term filsafat menyebabkan distingsi definisi yang cukup signifikan.

Perbedaan tempat dan lingkungan juga memengaruhi variasi definisi dalam kasus ini. Sebagai contoh, definisi yang dihasilkan oleh bangsa Yunani berbeda dengan bangsa Arab. Begitu pula definisi keduanya akan berbeda dengan beberapa bangsa lainnya. Hal ini disebabkan latar belakang budaya dan adat yang sangat majemuk, sehingga memengaruhi cara pandang mereka terhadap suatu objek.

Adapun mengenai persoalan masa, jika kita amati, pada era Yunani kuno, filsafat cenderung didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan, sehingga diskursus sains seperti biologi, fisika, kimia, dan lain sebagainya terkumpul menjadi satu dalam naungan filsafat. Akan tetapi, seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan diskursus lainnya, filsafat berevolusi menjadi objek kajian yang berbeda. Perkembangan dan perbedaan era tersebut pada akhirnya kembali mengubah definisi dari filsafat itu sendiri.

Hemat saya, berbagai perbedaan tadi dapat dijadikan salah satu penyebab munculnya stigma sebagaimana yang telah dipaparkan di awal. Maka tak ayal jika anggapan tersebut seolah melekat dalam benak mayoritas masyarakat. Kiranya, begini kalimat yang muncul dari mereka, “definisinya aja sulit, apalagi isinya.”

Namun, dalam definisi filsafat yang sangat beragam, terdapat satu definisi yang bisa menaungi keseluruhannya, yakni kegiatan berpikir dan penggunaan akal secara rasional serta proporsional. Setidaknya, definisi ini disepakati oleh para filsuf, agamawan, dan ilmuwan. Selain itu, definisi ini disepakati oleh seluruh manusia yang berada di belahan bumi mana pun, baik Barat maupun Timur. Definisi ini menaungi segala jenis perbedaan yang timbul akibat perbedaan masa. Jadi, filsafat sebagai kegiatan berpikir secara rasional dan proporsional menurut saya merupakan definisi yang universal.

Kegiatan berpikir dengan menggunakan akal secara rasional dan proporsional merupakan anugerah luar biasa bagi manusia. Dengan bekal akal, manusia dapat menciptakan berbagai penemuan dan teknologi mutakhir, seperti yang kita lihat saat ini. Keistimewaan tersebut juga menjadi pembeda dari makhluk lainnya, karena akal hanya dimiliki dan diberikan kepada manusia.

Dalam hal ketahanan fisik misalnya, manusia sangat lemah jika dibandingkan dengan hewan berbulu tebal seperti Beruang Kutub. Ia memiliki ketahanan kuat dalam suhu dingin yang ekstrem, sehingga hewan tersebut dapat bertahan hidup di Kutub Utara. Sedangkan Manusia tidak memiliki bulu tebal yang bisa melindunginya dari suhu yang sangat dingin. Akan tetapi, dengan nalar berpikirnya, manusia mampu menciptakan jaket, selimut, dan penghangat ruangan untuk melindungi dirinya dari suhu iklim yang ekstrem.

Dalam hal mobilisasi, manusia tidak memiliki keistimewaan yang unggul dibandingkan Citah yang memiliki kecepatan rata-rata berlari sejauh 105 km/jam. Akan tetapi, dengan menggunakan akalnya secara rasional dan proporsional, manusia mampu menciptakan mobil yang mengungguli kecepatan berlari Citah.

Dalam hal eksplorasi, manusia tidak lebih unggul dari ikan di laut. Begitu pula tidak lebih unggul dari burung di langit. Akan tetapi, dengan berpikir dan berfilsafat, manusia mampu menciptakan kapal selam untuk menjelajahi lautan yang luas. Begitupun pesawat jet untuk menjelajahi langit.

Contoh-contoh tersebut menggambarkan bahwa segala bentuk keunggulan manusia dibandingkan makhluk lainnya bertendensi pada penggunaan akal dan filsafat. Tanpa adanya aspek itu, umat manusia tidak akan lebih unggul dari makhluk-makhluk lainnya dalam seluruh aspek kehidupan. Bahkan, untuk menyamainya saja hampir tidak mungkin.

Dengan memahami definisi dan ilustrasi terkait urgensi filsafat ini, kita tahu bahwa filsafat bukanlah hal yang jauh dari kehidupan umat manusia. Bahkan, filsafat merupakan komponen fundamental dan krusial dalam kehidupan sehari-hari, baik berupa hal-hal besar seperti pengambilan keputusan untuk masa depan maupun hal kecil seperti memilih bahan makanan, memasaknya, hingga menyajikannya. Semua perkara tersebut tentu memerlukan pertimbangan akal secara filosofis dan rasional agar keputusan yang diambil bisa tepat.

Sejak dilahirkan, manusia sebenarnya sudah berfilsafat. Oleh karena itu, segala bentuk pertimbangan dan pemikiran yang proporsional serta rasional menjadi penting. Tanpanya, manusia hanya makhluk hidup yang lemah dalam berbagai aspek kehidupan. Sehingga, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa filsafat merupakan syarat utama menjadi manusia secara utuh.

Walhasil, stigma filsafat yang begitu rumit, sulit, dan tidak bisa digeluti khalayak umum merupakan anggapan yang kurang benar. Nyatanya, filsafat merupakan hal aplikatif yang bisa kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, tanpanya, kehidupan akan terasa sulit dan rumit untuk dijalani.


Penulis: Jawahir Kamal

Editor: Reza Mufarid



Posting Komentar

To Top