Hukum Melakukan Pekerjaan Rumahan bagi Istri

Sumber gambar: https://pin.it/6c2A1fja3

Ikatan pernikahan merupakan janji suci yang sangat sakral. Sebuah komitmen yang diikrarkan untuk menyatukan dua karakter berbeda dalam satu tujuan yang sama. Klaim ini diperkuat dengan penggambaran ikatan pernikahan di dalam surat an-Nisa ayat 21 dengan frasa “mitsâqon gholîdzo” yang berarti perjanjian kokoh dan agung. Dengan kesakralan tersebut, pernikahan tidak bisa dilakukan secara serampangan, apalagi jika niat tersebut didasarkan pada nafsu belaka, tanpa diniatkan ibadah dan mencari rida Allah Swt.

Ketika akad pernikahan telah diikrarkan, haruslah tertanam kuat dalam benak suami istri bahwa pernikahan merupakan ibadah panjang seumur hidup yang harus diisi dengan ketaatan kepada Allah.  Sebagai agama yang rahmatan lil ‘âlamin, Islam menjunjung tinggi kesetaraan antara hak dan kewajiban suami istri yang berimplikasi pada terwujudnya tujuan pernikahan. Konsep Islam tersebut tidak terlepas dari adanya persamaan derajat antara suami istri yang banyak diterangkan oleh al-Quran, di mana esensi antara laki laki dengan perempuan itu setara kecuali dalam hal keimanan dan ketakwaan.

Namun, dalam banyak kesempatan, istri dianggap memiliki kewajiban mengurus pekerjaan rumah yang berjibun, sehingga istri seringkali kehilangan kesempatan berinteraksi sosial dan berkontribusi untuk masyarakat atau menyalurkan segala potensinya. Hal ini biasanya dipicu dari adat serta budaya masyarakat pedalaman yang telah menjamur, ditambah lagi kekangan suami seolah memaksa istri untuk tetap berada di rumah. Dengan pengekangan ini, praktis membuat istri setiap harinya disibukkan dengan urusan-urusan rumahan seraya mengenakan daster sebagai kostum kebesarannya yang terkadang tetap dipakai sampai usang dan berlubang.

Adanya kultur tersebut biasanya terjadi pada golongan masyarakat yang kurang memahami hak dan kewajiban antara suami dan istri. Mengetahui  hak dan kewajiban bagi suami istri merupakan hal yang sangat penting, sebab pernikahan bukanlah hubungan yang dibangun atas dasar keinginan dan nafsu, tetapi juga pemenuhan hak antara suami dan istri agar tujuan dari ibadah tersebut dapat tercapai.

Berdasarkan perkara yang telah diutarakan di atas, penulis akan memaparkan beberapa pendapat ulama mengenai hukum istri dalam mengurus pekerjaan rumahan. Mengenai hal ini, Mazhab Syafi’iyah, Hanabilah dan sebagian Malikiyah berpendapat bahwa hal itu bukan kewajiban istri secara syariat. Hanya saja, lebih baik jika istri membantu suami dalam urusan rumah tangga sebagaimana yang telah berlaku di masyarakat, karena memang tugas rumah tangga ini merupakan pemekaran atau perluasan furuk dari kewajiban suami memberikan nafkah berupa sandang, papan,  dan pangan.

Selain itu, diterangkan di dalam kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab karya Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi (Imam Nawawi) bahwa tidak ada kewajiban bagi istri untuk menyediakan roti, memasak, mencuci dan pekerjaan rumahan lainnya, karena dalam perkawinan hanya terdapat akad yang mencakup pelayanan batin saja. Dengan kata lain, tugas utama istri adalah taat kepada suami ketika diminta melayaninya untuk bergaul. Hal ini pun selaras dengan hadis Nabi yang menerangkan bahwa seorang istri ketika menolak permintaan suami untuk berhubungan badan, maka ia akan dilaknat oleh para malaikat sepanjang malam hingga waktu subuh. Namun, penolakan tersebut bisa dibenarkan manakala istri memiliki uzur syar’i seperti haid serta nifas, atau manakala sang suami tidak melaksankan kewajibannya, seperti memberi mahar dan nafkah bagi istri (nusyuz).

Dari penjelasan tersebut, suami tidak dibolehkan mengekang istri dan memaksanya untuk fokus mengurus rumah tangga saja tanpa kerelaan hati sang istri. Klaim ini diperkuat dengan penjelasan di dalam al-fatawa al- Hindiyyah fi Fiqh al-Hanafiyyah yang menyebutkan “jika wanita berkata: ‘Saya sedang tidak ingin masak atau membuat kue’, suami tidak bisa memaksanya, melainkan memberikannya makanan atau menyiapkan pembantu untuk memasak”. Pembahasan tersebut mempertegas bahwasan kerelaan istri menjadi faktor utama dalam membantu tugas suami mengurus urusan rumah tangga.

Idealnya, suami memberikan ruang gerak dan keleluasaan bagi istrinya yang ingin berkarir, dengan catatan bahwa istri mampu menjaga muruahnya dengan berpenampilan sopan, membatasi hubungan dengan lawan jenis. Lebih dari itu, istri juga harus mampu membagi waktunya untuk anak, seperti mendidik dan mengajarinya banyak hal, terutama tentang akhlak. Hal itu merupakan tugas moral seorang ibu. Istri yang saleh sebaiknya turut membantu suami meringankan tugasnya. Adanya kerja sama yang seimbang seperti ini akan mampu menciptakan chemisty yang kuat antara suami dan istri serta menumbuhkan kepekaan di antara keduanya, sehingga besar kemungkinan terwujud rumah tangga yang tentram dan harmonis.

Dapat kita simpulkan bahwa tidak ada kewajiban bagi istri mengerjakan pekerjaan domestik secara syariat, baik mencuci maupun memasak. Namun, jika istri melaksanakan hal tersebut sungguh tidak ada ruginya. Justru mereka akan mendapatkan pahala yang besar karena berbakti terhadap suami akan terhitung sebagai ibadah.

 

Redaktur: Abdulloh Gymnastiar
Editor: Reza Pahlevi Mufarid

Posting Komentar

To Top