Hukum Melakukan Pekerjaan Rumahan bagi Istri
Ikatan pernikahan merupakan janji suci yang sangat sakral. Sebuah
komitmen yang diikrarkan untuk menyatukan dua karakter berbeda dalam satu tujuan
yang sama. Klaim ini diperkuat dengan penggambaran ikatan pernikahan di dalam
surat an-Nisa ayat 21 dengan frasa “mitsâqon gholîdzo” yang berarti
perjanjian kokoh dan agung. Dengan kesakralan tersebut, pernikahan tidak bisa
dilakukan secara serampangan, apalagi jika niat tersebut didasarkan pada nafsu belaka,
tanpa diniatkan ibadah dan mencari rida Allah Swt.
Ketika akad pernikahan telah diikrarkan, haruslah tertanam kuat
dalam benak suami istri bahwa pernikahan merupakan ibadah panjang seumur hidup yang
harus diisi dengan ketaatan kepada Allah. Sebagai agama yang rahmatan lil ‘âlamin,
Islam menjunjung tinggi kesetaraan antara hak dan kewajiban suami istri
yang berimplikasi pada terwujudnya tujuan pernikahan. Konsep Islam tersebut
tidak terlepas dari adanya persamaan derajat antara suami istri yang banyak
diterangkan oleh al-Quran, di mana esensi antara laki laki dengan perempuan itu
setara kecuali dalam hal keimanan dan ketakwaan.
Namun, dalam banyak kesempatan, istri dianggap memiliki kewajiban
mengurus pekerjaan rumah yang berjibun, sehingga istri seringkali kehilangan kesempatan
berinteraksi sosial dan berkontribusi untuk masyarakat atau menyalurkan segala
potensinya. Hal ini biasanya dipicu dari adat serta budaya masyarakat pedalaman
yang telah menjamur, ditambah lagi kekangan suami seolah memaksa istri untuk
tetap berada di rumah. Dengan pengekangan ini, praktis membuat istri setiap
harinya disibukkan dengan urusan-urusan rumahan seraya mengenakan daster sebagai
kostum kebesarannya yang terkadang tetap dipakai sampai usang dan berlubang.
Adanya kultur tersebut biasanya terjadi pada golongan masyarakat
yang kurang memahami hak dan kewajiban antara suami dan istri. Mengetahui hak dan kewajiban bagi suami istri merupakan
hal yang sangat penting, sebab pernikahan bukanlah hubungan yang dibangun atas
dasar keinginan dan nafsu, tetapi juga pemenuhan hak antara suami dan istri
agar tujuan dari ibadah tersebut dapat tercapai.
Berdasarkan perkara yang telah diutarakan di atas, penulis akan
memaparkan beberapa pendapat ulama mengenai hukum istri dalam mengurus
pekerjaan rumahan. Mengenai hal ini, Mazhab Syafi’iyah, Hanabilah dan sebagian
Malikiyah berpendapat bahwa hal itu bukan kewajiban istri secara syariat. Hanya
saja, lebih baik jika istri membantu suami dalam urusan rumah tangga
sebagaimana yang telah berlaku di masyarakat, karena memang tugas rumah tangga
ini merupakan pemekaran atau perluasan furuk dari kewajiban suami memberikan
nafkah berupa sandang, papan, dan
pangan.
Selain itu, diterangkan di dalam kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab
karya Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi (Imam Nawawi) bahwa tidak ada kewajiban bagi istri untuk
menyediakan roti, memasak, mencuci dan pekerjaan rumahan lainnya, karena dalam
perkawinan hanya terdapat akad yang mencakup pelayanan batin saja. Dengan kata
lain, tugas utama istri adalah taat kepada suami ketika diminta melayaninya
untuk bergaul. Hal ini pun selaras dengan hadis Nabi yang menerangkan bahwa
seorang istri ketika menolak permintaan suami untuk berhubungan badan, maka ia
akan dilaknat oleh para malaikat sepanjang malam hingga waktu subuh. Namun,
penolakan tersebut bisa dibenarkan manakala istri memiliki uzur syar’i
seperti haid serta nifas, atau manakala sang suami tidak melaksankan
kewajibannya, seperti memberi mahar dan nafkah bagi istri (nusyuz).
Dari penjelasan tersebut, suami tidak dibolehkan mengekang istri
dan memaksanya untuk fokus mengurus rumah tangga saja tanpa kerelaan hati sang
istri. Klaim ini diperkuat dengan penjelasan di dalam al-fatawa al-
Hindiyyah fi Fiqh al-Hanafiyyah yang menyebutkan “jika wanita berkata: ‘Saya
sedang tidak ingin masak atau membuat kue’, suami tidak bisa memaksanya,
melainkan memberikannya makanan atau menyiapkan pembantu untuk memasak”. Pembahasan
tersebut mempertegas bahwasan kerelaan istri menjadi faktor utama dalam
membantu tugas suami mengurus urusan rumah tangga.
Idealnya, suami memberikan ruang gerak dan keleluasaan bagi
istrinya yang ingin berkarir, dengan catatan bahwa istri mampu menjaga
muruahnya dengan berpenampilan sopan, membatasi hubungan dengan lawan jenis.
Lebih dari itu, istri juga harus mampu membagi waktunya untuk anak, seperti
mendidik dan mengajarinya banyak hal, terutama tentang akhlak. Hal itu
merupakan tugas moral seorang ibu. Istri yang saleh sebaiknya turut membantu
suami meringankan tugasnya. Adanya kerja sama yang seimbang seperti ini akan
mampu menciptakan chemisty yang kuat antara suami dan istri serta
menumbuhkan kepekaan di antara keduanya, sehingga besar kemungkinan terwujud
rumah tangga yang tentram dan harmonis.
Dapat kita simpulkan bahwa tidak ada kewajiban bagi istri mengerjakan
pekerjaan domestik secara syariat, baik mencuci maupun memasak. Namun, jika
istri melaksanakan hal tersebut sungguh tidak ada ruginya. Justru mereka akan
mendapatkan pahala yang besar karena berbakti terhadap suami akan terhitung
sebagai ibadah.
Posting Komentar