Rahmah al-Yunisiyah; Sosok yang menginspirasi al-Azhar dan Perempuan Indonesia.

Sumber gambar: wikipedia.org

Syaikhah Hajjah Rangkayo Rahmah al-Yunisiyah adalah seorang perempuan yang berasal dari daerah Padang Panjang yang menginsipirasi berdirinya Kuliyah li al-Banat (Perguruan Tinggi untuk perempuan) di al-Azhar, Kairo, Mesir.

Rahmah al-Yunisiyah dilahirkan di Nagari Bukti, Surungan, Padang Panjang pada 29 Desember 1900. Ia lahir di lingkungan keluarga yang taat menjalankan nilai agama. Ayahnya, Yunus, adalah seorang ulama yang pernah menuntut ilmu di Mekkah selama empat tahun lamanya. Sedangkan Ibunya, Rafia, memiliki hubungan darah dengan Haji Miskin, ulama pemimpin Perang Padri pada awal abad ke-19.

Masa remaja Rahmah dihabiskan dengan belajar. Ia mendaftar sebagai murid kelas tiga (setara Tsanawiyah) di Diniyah School, sekolah yang didirikan kakaknya, Zainuddin Labay. Selain menghadiri kelas pada pagi hari, Rahmah memimpin kelompok belajar di luar kelas pada sore harinya. Selama masa inilah ia menjadi pengamat bagi teman-teman maupun orang lain di sekitarnya. Rahmah melihat satu fakta bahwa dengan bercampurnya murid laki-laki dan perempuan dalam satu kelas ternyata membuat kesenjangan di antara mereka, sehingga perempuan tidak bebas dalam mengutarakan pendapat juga menggunakan haknya. Contohnya ketika pembelajaran fiqih berlangsung, guru yang notabenenya laki-laki tidak menjelaskan secara rinci, sementara murid perempuan enggan bertanya.  

Melihat fakta tak mengenakan tersebut, Rahmah bersama ketiga temannya, Siti Nanisah, Rasuna Said, dan Djawana Basyir membentuk kelompok belajar sendiri agar dapat berdiskusi dan berbicara mengenai problematika perempuan dengan bebas. Selain itu, mereka berguru kepada Abdul Karim Amrullah (Buya Hamka) di Surau Jembatan Besi untuk mempelajari ilmu fiqih lebih dalam. Ketiganya tercatat sebagai murid perempuan pertama yang ikut belajar disana.

Saat Rahmah naik kelas enam di Diniyah School, ia merundingkan gagasannya untuk mendirikan sekolah perempuan sendiri kepada teman-teman perempuannya. Pendidikan bersama atau ko-edukasi (menggabungkan murid laki-laki dan perempuan) dinilainya membatasi kaum perempuan dalam menerima pendidikan yang cocok untuk mereka. Rahmah meyakini bahwa terdapat perbedaan pendidikan antara keduanya. Menurutnya, perempuan membutuhkan model pendidikan yang berbeda dengan laki-laki, karena ajaran Islam memberikan perhatian khusus terhadap keberadaan perempuan. Keinginannya disampaikan kepada kakak laki-lakinya. Ia berkata, ”Kalau saya tidak mulai dari sekarang, maka kaum saya akan tetap terbelakang. Saya harus mulai, dan saya yakin akan banyak pengorbanan yang dituntut dari diri saya. Jika Kakanda bisa, kenapa saya sebagai adik tidak bisa? Jika lelaki bisa, kenapa perempuan tidak bisa?”.

Pada tahun 1923, ia mendirikan Diniyah Putri School, yaitu sekolah agama khusus Perempuan yang diberi nama al-Madrasah al-Diniyah li al-Banat di Masjid Pasar Usang. Murid pertamanya berjumlah 71 orang yang sebagian besar merupakan ibu muda. Tujuan didirikannya sekolah ini tidak lain dan tidak bukan adalah untuk melaksanakan pendidikan dan pengajaran berdasarkan ajaran Islam, sehingga terbentuk perempuan yang berdaya dengan dasar agama yang kuat. Rahmah juga mendirikan sekolah khusus untuk memberantas buta huruf di kalangan ibu rumah tangga pada tahun 1925.

Seiring waktu, Diniyah Putri School berkembang pesat dengan murid yang bertambah hingga 200 orang. Pada tahun 1935, jumlahnya bertambah dua kali lipat. Di tahun itu juga, Rahmah mendirikan tiga perguruan putri di Batavia (Jakarta), yaitu di Kwitang, Jatinegara, dan Tanah Abang.

Dua tahun setelahnya, yaitu pada tahun 1955, para petinggi Universitas al-Azhar, Mesir mengunjungi Padang dan menyempatkan diri untuk datang ke Diniyah Putri School. Ada hal yang menginspirasi mereka dari sekolah tersebut. Sehingga pada tahun 1957, Rahmah diundang ke Mesir dan diberi gelar “Syaikhah” oleh al-Azhar. Ia menjadi perempuan pertama yang mendapatkan gelar itu. Ternyata kedatangannya dan cerita tentang sekolah Diniyah Putri inilah inspirasi awal dari berdirinya Kulliyah li al-Banat di al-Azhar yang terealisasi pada tahun 1962.

Di balik kesuksesannya mendirikan Diniyah Putri School, banyak tantangan yang ia hadapi. Mulai dari kematian Kakaknya, Zainuddin Labay sebagai mentornya dalam dunia pendidikan, sampai gempa bumi pada tahun 1962 di Padang yang menyebabkan gedung-gedung sekolahnya roboh.

Rahmah berjuang untuk menemukan solusi dari masalahnya sendiri. Ia melakukan kunjungan di banyak tempat untuk mencari dana sembari mengampanyekan betapa pentingnya pendidikan bagi perempuan. Rahmah ingin memutus stigma bahwa kaum perempuan itu makhluk yang lemah. Hal itu terbukti ketika ditawari bantuan oleh laki-laki, ia menolak.  Ia juga tidak menerima subsidi dan bantuan yang ditawarkan kaum Kolonial Belanda pada saat itu.

Selain berjuang dalam ranah pendidikan, ia juga berjuang bagi kemerdekaan Indonesia. Di zaman penjajahan Jepang, hak-hak perempuan sebagai manusia dan orang yang berhak menerima pendidikan di Sumatera benar-benar terampas. Akhirnya Rahmah memilih terjun ke dunia politik untuk mendapatkan kekuasaan demi menghentikan perbudakan dan pelecehan terhadap perempuan yang terjadi di provinsinya. Ia bergabung dengan organisasi seperti Anggota Daerah Ibu dan Gyugun Ko En Kai. Rahmah berjuang melalui berbagai saluran yang tersedia untuk menegakkan hak asasi perempuan di Sumatera.

Pada masa Agresi Belanda, Rahmah dikenal sebagai “Ibu Pasukan Ekstremis” dan “Pelopor Sabil Muslimat”. Hidupnya didedikasikan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan,  terutama dalam dunia pendidikan, dan hasil perjuangannya masih terasa hingga saat ini.

“Ya Allah, Ya Rabbi, bila ada dalam ilmu-Mu apa yang menjadi cita-citaku ini untuk mencerdaskan anak bangsaku terutama anak-anak perempuan yang masih jauh tercecer dalam bidang pendidikan dan pengetahuan, ada baiknya Engkau ridhai, maka mudahkanlah, Ya Allah, jalan menuju cita-citaku itu. Ya Allah, berikanlah yang terbaik untuk hamba-Mu yang lemah ini. Amin.” – Rahmah El Yunisiyah


Redaktur: Hasanatul Khuluqiah

Editor: Lalu Azmil Azizul Muttaqin

Posting Komentar

To Top