Mangkujiwo 2; Benarkah Film Horor Menggiring Agama pada Skeptis Publik?
Sumber: instagram @kuntilanakfilm
“Tidak ada satupun manusia yang dapat memilih ataupun menolak kelahirannya.
Bahkan, apabila ia dilahirkan hanya demi memuaskan ego seseorang. Tidak ada.”
Ungkapan di atas adalah hal pertama yang terlintas dalam benak saya saat setelah
menamatkan film horror berjudul “Mangkujiwo 2”. Disutradai oleh Azhar Kinoi
Lubis, film yang dirilis pada Januari 2023 ini menampilkan sosok Kuntilanak
dengan bumbu-bumbu kebiadaban manusia demi menciptakan suasana mencekam. Film berlatar
belakang tahun 70-an ini dibintangi oleh para aktor ternama, seperti Sujiwo Tejo,
Yasamin Jasem, Djenar Maesa Ayu, Karina Suwandhi, dan lain sebagainya.
Tidak seperti sekuel Mangkujiwo 1 yang menceritakan proses terciptanya Kuntilanak
(selanjutnya akan saya singkat menjadi “Kunti”), film berdurasi 120 menit ini justru
menceritakan pengendalian Kunti melalui perewangan Romo Brotoseno. Adegan
dimulai dengan suasana pemutaran film perdana yang dibintangi oleh aktris
bernama Maureen. Di saat semua penonton menikmati film dengan tenang, Hanuma,
salah satu penonton justru mendapat penglihatan menyeramkan yang menampakkan
tempat pemutaran film tersebut sebagai tempat pembantaian manusia.
Usut punya usut, Hanuma—kerap disapa Uma—rupanya merupakan titisan Kunti
yang dapat melihat hal-hal gaib. Uma sengaja menyembunyikan fakta tersebut agar
orang-orang tidak menganggapnya aneh atau gila. Akan tetapi, penglihatan
tersebut tiba-tiba menghilang saat ia bertemu Rimba, seorang wartawan sekaligus
fotografer yang bertugas meliput serta mengabadikan momen pembukaan bioskop. Lambat
laun, Uma pun jatuh cinta terhadap Rimba yang rupanya merupakan putra dari Kunto
Haryo, pemilik perusahan bioskop sebelumnya.
Mengetahui hal tersebut, Romo Brotoseno—ayah asuh Uma—pun memperalat
keduanya untuk menghancurkan semua sekutunya (termasuk Uma). Tak terkecuali Dargo
Sentono, rekan bisnis Brotoseno yang ia singkirkan dengan sadis. Dargo pun
mulanya juga melakukan hal serupa. Segala cara ia lakukan demi melanggengkan
kekuasannya, termasuk membunuh Kunto Haryo yang merupakan pemilik bioskop. Tidak
berhenti disitu, Dargo terus mencari tumbal baru, sehingga dia pun memutuskan
mengincar Rimba yang notabene merupakan keturunan Kunto Haryo. Akan tetapi
siapa sangka bahwa Dargo akan menjadi korban dari Romo Brotoseno, rekan
bisnisnya yang melakukan pesugihan seperti yang dia lakukan.
Sinematografi film ini dikemas dengan sangat apik. Meskipun minim
jumpscare, alunan musik jawa klasik dan adegan gore yang begitu
intens menjadi salah satu kekuatan dalam film ini. Ditambah, alur film yang
dibuat maju-mundur membuat penonton harus tetap fokus demi tetap memahami jalan
cerita. Selain itu, poin menarik yang menjadikan film ini sedikit berbeda
dengan film horor Indonesia lainnya ialah tidak adanya adegan ritual yang menggunakan
atribut-atribut keagamaan. Kemenarikan ini lantas mengundang pertanyaan bagi
saya: apakah agama dapat terlepas dari hal-hal gaib?
Agama Terbebas dari Horor
Rasa-rasanya, hampir sebagian besar film horor Indonesia menggunakan
atribut-atribut keagamaan dalam menyajikan suasana horor. Hal ini mengundang
kekhawatiran bagi saya apabila agama (maksud saya di sini adalah Islam) di
kemudian hari dipandang sebagai sesuatu yang menakutkan, alih-alih simbol kasih
sayang dan perdamaian. Contohnya, film “Makmum”. Film ini menceritakan ibadah
salat yang dalam pelaksanaannya mendapat gangguan dari hantu. Sehingga dapat
saya simpulkan bahwa film ini menggunakan ibadah salat sebagai media dalam
menghadirkan sosok hantu.
Kendati demikian, ciri khas di atas tidak saya temukan dalam film “Mangkujiwo
2”. Meskipun film ini penuh dengan adegan ritual, namun tidak ada satupun
mantra dalam prosesi ritual tersebut yang berkaitan dengan keagamaan. Lebih
daripada itu, film ini mengenalkan kembali tradisi-tradisi kejawen terdahulu
yang lekat dengan kemistisan. Sehingga tidak berlebihan rasanya apabila film
ini saya katakan terbebas dari kebiasaan penggunaan keagamaan. Lantas, ada apa
dalam agama itu sendiri? Mengapa agama seringkali digunakan dalam menghadirkan
suasana horor?
Membincang perihal agama, para ahli mempunyai pemahaman berbeda dalam
mendefinisikannya. Pun halnya dengan John Dewey, salah seorang filsuf Amerika
yang juga merupakan pelopor Pragmatisme. Menurutnya, agama merupakan suatu bentuk
eksplorasi manusia terhadap tantangan yang membahayakan jiwa. Sehingga beliau
berkesimpulan agama merupakan suatu pengenalan kepada
manusia terhadap kekuatan gaib atau supranatural. Mengingat pada
dasarnya, manusia secara alamiah memiliki rasa ketakutan yang terbagi menjadi
dua: ketakutan berobjek, dan ketakutan tanpa objek.
Saya kira, pemikiran semacam itulah yang akhirnya mendasari para produser
film horor Indonesia dalam mengkreasikan karya mereka. Melalui kesan horor yang
mereka ciptakan, mereka mencoba mengenalkan bagian dari agama yang dalam
konteks ini adalah hal-hal gaib maupun supranatural. Mereka juga mencoba
memikat daya tarik penonton terhadap cerita yang menakutkan, dengan membuat
alur cerita yang menarik atau plot twist.
Walakhir, dapat kita pahami bahwa salah satu alasan penggunaan atribut
keagamaan dalam film horor adalah adanya peran agama dalam mengenalkan manusia
kepada hal-hal supranatural. Kendati demikian, realita yang kita dapati
sekarang justru mengundang rasa skeptis masyarakat. Sehingga besar harapan
saya, industri film horor Indonesia dapat membawa nuansa horor baru yang
menarik tanpa lagi-lagi menggunakan atribut keagamaan—seperti yang saya dapati
dalam film Mangkujiwo 2.
Redaktur: Ahmad Rijaldi Nur
Editor: Salsadila Musrianti
👍
BalasHapus