Sulitnya Mewujudkan Perdamaian antara Palestina dan Israel


Sumber gambar: jabar.nu.or.id

Perang antara Israel dan Hamas telah berlangsung selama 100 hari lebih. Kondisi ini mengakibatkan banyak korban berjatuhan, terutama masyarakat sipil Palestina. Kementerian Kesehatan Palestina mencatat sebanyak 20 ribu lebih jiwa yang melayang akibat serangan Israel. Hingga hari ini, tidak ada tanda-tanda serangan tersebut akan berhenti, meskipun Mahkamah Internasional telah memberi peringatan kepada Israel untuk menghentikan dan mencegah serangannya yang dapat menimbulkan genosida.

Serangan demi serangan terus dilakukan Israel dengan dalih pertahanan dan pembelaan terhadap gempuran yang diluncurkan Hamas kepada Israel 7 Oktober silam. Ironisnya serangan balasan mereka cenderung berlebihan, bahkan tidak manusiawi. Pasalnya, mereka melakukan agresi ke daerah yang sangat tidak layak untuk diserang, seperti sekolah dan rumah sakit. Serangan tersebut didasarkan pada klaim bahwa tempat-tempat umum telah dijadikan Hamas sebagai daerah persembunyian mereka. Dengan tuduhan ini, mereka menyergap dan melakukan pengepungan terhadap rumah sakit yang mana notabene diisi oleh korban perang yang sangat membutuhkan pertolongan.

Dari sini dapat disimpulkan bahwasanya konflik kali ini sangat jauh dari segi pelindungan hak asasi manusia, karena kondisi tersebut sangat layak untuk dikategorikan sebagai genosida atau pemusnahan massal. Hal ini menunujukkan kebengisan Israel karena mengesampingkan sisi kemanusian yang seharusnya dikedepankan. Pembelaan Presiden Israel, Isaac Herzog dalam sidang gugatan Afrika Selatan atas tuduhan Israel melakukan genosida merupakan argumen yang tidak masuk akal dan lemah hukum. Ia beranggapan bahwa pembelaan diri adalah hak paling inheren berdasarkan hukum humaniter internasional atas serangan yang mereka lakukan. Pendapat ini tentu sangat bertentangan dengan fakta yang telah terjadi.

Hal yang semakin menunjukkan keangkuhan Israel adalah penolakan Perdana Menteri Israel, Netanyahu terhadap usulan konsep dua negara dari Amerika Serikat. AS berpandangan bahwa untuk menciptakan perdamaian antara Israel dan Palestina memerlukan jaminan keamanan yang sama bagi kedua belah pihak. Sebaliknya, Netanyahu justru secara terang-terangan menentang pembentukan negara Palestina. Upaya ini diperkuat oleh Netanyahu dan para pejabat Israel yang berkali-kali mengusulkan pengusiran total warga Palestina dari Gaza. Dengan fakta seperti itu, serangan yang dilakukan Israel selama ini sah jika dikatakan sebagai genosida.

Maka tidak salah juga ketika kita berasumsi bahwa ambisi dan serangan Israel sudah tidak lagi berdasarkan pada pembelaan diri ataupun memenangkan perang, tetapi telah berubah menjadi upaya untuk menguasai seluruh wilayah Palestina. Perang ini barangkali menjadi kesempatan bagi mereka untuk lebih dekat dalam mewujudkan mimpinya itu. Dengan demikian, maka perdamaian antara Palestina dan Israel bisa dikatakan tidak akan pernah tercapai.

Bapak Studi Perdamaian, Johan Galtung menjelaskan bahwa damai adalah kondisi tanpa kekerasan yang bukan hanya bersifat personal atau langsung, tetapi juga bersifat struktural atau tidak langsung. Galtung juga menekankan bahwa kondisi damai adalah hilangnya tindakan kekerasan dan ketidakadilan sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Sebaliknya, dengan adanya ambisi Israel yang sedemikian rupa, akan sulit menghilangkan tendensi-tendensi tersebut.

Dari sini, Johan Galtung membagi damai menjadi dua bagian, yaitu perdamaian negatif (negative peace) dan perdamaian positif (positive peace). Perdamaian pertama ditandai dengan tidak adanya kekerasan secara langsung di tengah-tengah masyarakat. Artinya, konflik antara Palestina dan Israel harus benar-benar berhenti. Antara keduanya hidup berdampingan dengan aman dan tentram. Perdamaian yang kedua ditandai dengan tidak hanya dengan menyelesaikan sebuah konflik, tetapi juga adanya pencegahan supaya tidak terjadi konflik susulan, serta terciptanya ketenangan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Misalnya, masyarakat tidak dihantui oleh rasa takut dalam beraktivitas, mulai dari bekerja, beribadah, dan lain sabagainya.

Berangkat dari konsep studi perdamaian yang diusung oleh Johan Galtung, saya berasumsi bahwa konflik antara Palestina dan Israel tidak akan pernah mencapai kata damai. Hal ini disebabkan bahwa dua konsep perdamaian yang disebutkan oleh Johan Galtung tak dapat diterima oleh Israel. Agresi yang dilakukan oleh Israel kepada rakyat Palestina secara masif telah menegasikan konsep perdamaian negatif, sedangkan penolakan tawaran AS mengenai konsep dua negara menunjukkan bahwa Israel telah menentang perdamaian positif. Lantas bagaimana perdamaian positif akan tercapai, jika perdamaian negatif saja tidak pernah dihiraukan?

Maka dapat kita saksikan bersama, demi memenuhi kepentingannya, pemerintah Israel rela mengesampingkan sisi kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi. Seandainya jika boleh memberi julukan kepada para pejabat Israel itu, maka mereka tidak layak dikategorikan sebagai manusia. Karena sebagai manusia, adanya hati nurani dan pikiran yang jernih sudah cukup menjadi wasilah untuk mewujudkan perdamaian dunia.


Redaktur: Muhammad Said As’ad

Editor: Reza Pahlevi

Posting Komentar

To Top