Paradigma Keragaman Qiraat al-Qur’an
Sumber gambar: https://pin.it/5yq1KUibg
Sebagai kitab suci,
kandungan dan isi al-Qur’an memiliki sifat tauqifi (penetapannya
langsung dari Allah SWT). Begitupun pola penulisannya dalam mushaf juga bersifat
tauqifi. Sebagaimana banyak kita ketahui bahwa pola penulisan al-Quran
ditulisan menggunakan Rasm Utsmani. Namun, pola penulisan ini masih
mengandung unsur ihtimali, sehingga tidak dapat menampung seluruh bacaan
yang dapat dilafazkan dari ayat-ayat al-Qur’an. Oleh karena itu, para ulama mengkodifikasikan
sebuah ilmu untuk mengetahui berbagai bacaan yang dapat digunakan untuk membaca
al-Qurán yakni ilmu Qiraat.
Berdasarkan
pendapat Imam Ibnu Jazari, ilmu Qiraat adalah tata cara pengucapan ayat-ayat al-Qur’an
dan berbagai macam perbedaan bacaan berdasarkan jalur periwayatannya. Artinya, sebuah
ilmu riwayat yang proses klasifikasi dan validitasnya disandarkan hingga sampai
kepada Rasulullah Saw. Dari sini, muncul beberapa imam qiraat dengan bacaan
yang berbeda-beda, sehingga kemunculannya dibarengi dengan berdirinya madrasah
pembelajaran bacaan al-Qur’an, baik secara riwayat maupun pengetahuan (dirayah).
Perbedaan
bacaan tersebut kemudian menyebabkan perselisihan di kalangan ulama mengenai
jumlah qiraat yang diakui. Adapun awal mula munculnya perselisihan tersebut
pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Sebagian dari mereka mengatakan ada tujuh,
tetapi sebagian lainnya mengatakan terdapat sepuluh qiraat yang diakui
berdasarkan jalur periwayatannya.
Golongan
yang mengatakan tujuh qiraat berpegangan pada pendapatnya Ibnu Mujahid. Beliau
memaparkan dalam kitabnya al-Sab’ah fi al-Qiraat bahwa hanya ada tujuh
imam qiraat yang masyhur dan diakui validitas periwayatannya. Namun, pendapat
tersebut kemudian menimbulkan permasalahan dalam pemahaman orang awam. Beberapa
dari mereka mendefinisikannya secara spontan bahwa al-Qur’an memiliki tujuh huruf.
Maka
dari itu, Abu Abbas bin Ammar mengecam pendapat Imam Ibnu Mujahid tersebut,
karena telah mengkhususkan pada tujuh qiraat saja. Namun, sebagian lainnya
menganggapnya sebagai hal yang lumrah. Hal ini didasarkan bahwa Ibnu Mujahid
tidak bermaksud menisbatkan kata tujuh secara langsung terhadap hadis Harf al-Sab’ah.
Akan tetapi, pendapatnya tersebut dilandaskan pada pendapat jumhur yang
mengatakan bahwa hanya ada tujuh imam qiraat yang periwayatannya diakui pada
masa itu.
Pada
masa selanjutnya, muncul beberapa karangan yang mencoba untuk meneliti jalur
periwayatan imam qiraat selain yang disebutkan oleh Ibnu Mujahid. Beliau condong mengikuti pendapatnya ibnu mujahid yang mengatakan qiraat yang mutawatir itu ada 7. Kitab tersebut yang kemudian dijadikan
acuan oleh Imam Syatibi dalam mengarang nadzam kitab Matn
al-Syathibiyyah.
Selain Abu ‘Amr Utsman al-Dani, juga terdapat
ulama yang meneliti jalur sanad qiraah secara mendalam dibandingkan yang
sebelumnya. Beliau adalah Imam Ibnu al-Jazari. Dalam upayanya meneliti dan
mengkaji kembali seluruh riwayat qiraat al-Qur’an, beliau berhasil mengumpulkan
1000 jalur periwayatannya. Dari hasil penelitian tersebut, Ibnu Jazari
menemukan 3 riwayat imam qiraat yang tidak dianggap masyhur oleh Ibnu Mujahid
dan beberapa ulama yang sepakat dengannya.
Adapun 3 riwayat tersebut disebutkan
Ibnu Jazari di dalam kitabnya al-Nasyr fi al-Qiraat al-Asyrah. Pertama,
riwayat dari Imam Nafi’, imam pertama dari generasi qurra’. Riwayatnya
tersambung kepada Imam Abu Ja’far al-Madani. Artinya, Imam Nafi’ adalah murid
dari Abu Ja’far. Sebuah kemustahilan jika muridnya memiliki jalur riwayat mutawatir,
tetapi tidak dengan gurunya.
Kedua,
riwayat Imam Abu ‘Amr, imam ketiga dalam generasi qurra’. Adapun riwayat
Abu Amr tersambung dengan Imam Ya’qub al-Khadrami. Ketiga, jalur riwayat
Imam Khalaf al-Asyrah, perawi dari Imam Hamzah (imam keenam dalam generasi qurra’).
Ketiga imam tersebut, secara valid, menurut Ibnu Jazari, sama-sama memilki
riwayat bacaan yang mutawatir dan juga diakui jalur periwayatannya.
Berdasarkan pemaparannya tersebut, Imam Jazari lantas menggolongkan kitab beliau sendiri sebagai thuruq qiraah al-asyrah al-kubra, karena beliau meneliti semua jalur periwayatan dan
tidak membatasinya pada yang masyhur saja. Dalam mengkaji dan
meneliti jalur periwayatan bacaaan al-Qur’an, Ibnu Jazari meletakkan beberapa
syarat, sehingga kemudian mampu membedakan riwayat yang mutawatir dan syadz.
Klasifikasi dan syarat tersebut tercantum dalam kitab matan Thayyibah
al-Nasyr, ringkasan dari kitab Taqrib al-Nasyr karya Ibnu Jazari:
1. Tidak menyelisihi kaidah nahwu. Ibnu
Jazari sangat berhati-hati dalam meneliti isnad bacaan al-Qur’an, terutama dari
segi kaidah penulisan dan bacaaan bahasa Arab secara benar.
2. Sesuai dengan pola tulisan
ustmani (tauqifi). Hal ini menjadi bukti bahwa al-Qur’an itu turun
karena mukjizat Allah SWT. Oleh
karena itu, ia bisa dibaca dengan berbagai macam bacaan tergantung pada
penulisan huruf yang ada pada ayat tersebut, karena memang pada zaman itu al-Qur’an
masih belum ada titik maupun harakat.
3. Melihat dari segi periwayatannya yang sahih. Disini Ibnu Jazari menukil dari pendapat Sayyidina Utsman
bin Affan yang memberi 2 syarat untuk mengetahui riwayat bacaan yang mutawatir
dengan cara dia mampu menghadirkan 2 bukti: hafalan yang kuat, wahyu yang
otentik dan pola tulisannya masih tergolong Rasm Ustmani. Ketika tidak dapat
menghadirkan 2 bukti tersebut, maka periwayatannya dianggap tertolak, karena terdapat
kekurangan/kecacatannya.
Menurut Ibnu Jazari, ketika salah satu
dari ketiga syarat tersebut tidak dapat dipenuhi, maka riwayat bacaannya tidak
bisa dianggap sebagai bacaan al-Qur’an yang mutawatir. Akan tetapi, riwayat
bacaan tersebut akan dianggap sebagai bacaan qiraat yang syadz.
Kemudian, setelah Imam Ibnu al-Jazari mengarang matan Thayyibah
al-Nasyr. Beliau kemudian mengarang kitab Tahbir
at-Taysir untuk melengkapi pembahasan yang kurang pada At-Taysir fi al-Qiraat al-Sab’ karya Imam
Abu ‘Amr al-Dani. Berbeda dengan kitab al-Nasyr fi al-Qiraat al-Asyrah, Tahbir
al-Taysir hanya memuat jalur riwayat dari imam yang masyhur saja
sebagaimana metode yang digunakan oleh Ibnu Mujahid.
Lebih dari pada itu, Imam Ibnu
al-Jazari juga meringkas kitabnya Tahbir at-Taysir menjadi bentuk
kumpulan syair yang tersusun secara rapi. Hasil dari ringkasan tersebut
kemudian diberi nama Matn al-Durrah al-Mudhiyyah. Kitab ini melengkapi
kerangka dari Kumpulan syair yang ada di kitab Matn al-Syathibiyyah
karangan Imam Syathibi. Sejak saat itu, kedua kitab tersebut (Matn al-Durrah
al-Mudhiyyah dan Matn al-Syathibiyyah) digolongkan sebagai thuruq
qiraah al-asyrah al-sughra. Berkat Upaya dari imam Ibnu al-Jazari inilah, mayoritas
ulama sepakat bahwa bacaan qiraat al-Qur’an yang sah dan valid terdapat sepuluh
bacaan. Istilah ini kemudian kita kenal sebagai Qiraat Asyrah.
Penulis: Jihad Muhammad Haqiqi
Editor: Muhammad Reza Pahlevi Mufarid
Posting Komentar