Pemikiran Bassam Tibi; Hubungan Islam dan Politik Keagamaan
Bassam Tibi merupakan pemikir Islam asal Suriah tetapi menetap di Jerman.
Tinggal di antara komunitas Muslim di luar negaranya, Bassam merasa banyak hal
yang ia yakini tentang Islam begitu terikat dan terkait dengan budaya Timur
Tengah; Saudi, Yaman, Mesir, misalnya. Namun, hal itu terbantahkan ketika suatu
waktu Bassam berkunjung ke Senegal. Di sana, Bassam menemukan Islam yang sangat
berbeda dari versi Timur Tengah yang ia kenal selama ini, sehingga beberapa
aspek keberislaman tampak “tidak Islami” baginya.
Pengalaman demikian menjadi premis dasar beberapa gagasan Bassam.
Membandingkan fenomena keberislaman di Eropa dan Timur Tengah membuatnya sadar
akan gagasan keberagaman Islam. Tesis bahwa Islam bukanlah konsep asing―outsider―mengilhami
Bassam untuk menerapkan kerangka tersebut guna menginterpretasi Islam di Eropa.
Pasca tragedi 911, ia memunculkan konsep “Euroislam”, yaitu laku keagamaan bagi
Muslim agar dapat berasimilasi sepenuhnya sebagai orang Eropa sekaligus tanpa
harus “mengislamkan” Eropa. Ia menekankan bahwa Euroislam adalah konsep sosial,
bukan agama.
Demikian penggalan salah satu gagasan pemikir Islam, Bassam Tibi. Ia memang
dikenal sebagai pemikir yang konsern kepada isu-isu keberslaman di Eropa;
Radikalisme, Feminisme, Terorisme, Politik, dan Reformasi Islam. Buku
terbarunya The
Islamist Shari'atization of Polity and Society: A Source of Intercivilizational
Conflict ,
terinspirasi oleh pertumbuhan gerakan-gerakan Islamis selama Musim Semi Arab. Pemisahan Islam sebagai agama dari manifestasi sosial dan politiknya juga
merupakan inti dari karya ini. Seperti yang telah dilakukannya di sepanjang
kariernya, Bassam berusaha keras untuk memisahkan agama Islam dari pengaruh
politik dan sejarah yang membentuk seperti apa bentuknya saat ini. Lantas,
siapakah Bassam Tibi? Bagaimana gagasan-gagasannya mengenai isu keislaman
modern dan reformasi Islam?
Pria
Syuriah yang Melawan Kelompok Fundamentalis
Bassam
Tibi lahir pada 4 April 1944. Ia dibesarkan di Damaskus
dari keluarga At-Tibi, salah satu keluarga yang terkemuka di Damaskus. Di dalam
keluarganya, Bassam merasa ada hal yang unik, semacam paradoks. “Keluarga saya
menentang kolonialisme, imperialisme, hegemoni Barat, tapi kami tetap mengagumi
Barat,” ucapnya. “Kami pergi ke Madrasah Alquran, lalu setelah salat Jumat
pergi ke pesta bersama anak-anak dan menonton rock 'n' roll. Justru terkadang
budaya yang kami hormati adalah budaya Amerika” tambahnya. Begitu juga di pendidikannya, ia menyelesaikan hafalan al-Quran pada umur enam
tahun, sekaligus menempuh pendidikan campuran model Islam dan Barat. Tercatat,
ia menyelesaikan pendidikan menengah dalam bidang bahasa Prancis.
Pada
tahun 1962 Bassam melanjutkan pendidikannya di Hamburg, Jerman dan menerima
gelar doktoral pada tahun 1971 di Universitas Goehte di Frankfurt. Kemudian pada tahun 1981, ia menerima gelar Doktor Luar Biasa Jerman dari
Universitas Hamburg. Kisah menariknya, Bassam awalnya mengincar Universitas Harvard
tetapi ayahnya tertarik pada Jerman dengan alasan Jerman memihak Arab dalam
perang dunia pertama. Oleh karenyanya, pergilah Bassam ke Hamburg hingga
menetap dan mengambil kewarganegaraan Jerman.
“Saya
datang ke Jerman sebagai seorang anti-Semit. Kami
dididik seperti itu. Saya biasa bertengkar dengan saudara laki-laki saya. Ibu
saya–yang bukan seorang anti-Semit–berkata kepada saya dalam bahasa Arab:
“Tinggalkan dia. Kamu bisa melakukan ini pada orang Yahudi, tapi tidak pada
saudaramu. Kemudian,
saya bertemu dengan dua orang Yahudi dan mereka mengubah hidup saya” cerita
Bassam pada wartawan The Spectator, Ed Husein. Dua Yahudi tersebut adalah
filsuf Theodor Adorno dan Max Horkheimer, pendiri pemikiran kritis Mazhab
Frankfurt yang kemudian menjadi dosennya di Universitas Franfurt.
Bergumul dengan orang Barat tak lantas membuat Bassam terbawa arus. Ia merasakan arus modernitas Eropa dengan kemajuan intelektual mereka dalam bidang sains dan teknologi. Di tengah perantauannya itu, ia justru merasa terganggu dengan slogan-slogan negatif yang mengarah kepada umat Islam. Salah satunya argumen Osama bin Laden, selaku ketua Al-Qaeda ketika menyerang WTC 911 yang tidak hanya bermaksud melancarkan perang melawan dunia non-Muslim tapi juga ingin menampilkan dirinya dan narasi jihadnya sebagai suara baru Islam. Bassam menentang keras argumen tersebut. Dalam bukunya, Islam and Islamism2, kemunculan kaum fundamentalis adalah sebuah kenaifan, itu adalah bukti krisis solusi orang Islam dalam menghadapi modernitas dan juga disebabkan oleh krisis pembangunan yang terkait dengan modernisasi dunia Arab yang tidak berhasil. Radikalisme bukan sama sekali gerakan baru Islam tegas Bassam.
Bassam Tibi selama lebih dari dua dekade selalu konsisten
menentang kelompok radikalisme. Berbagai karya baik pidato, esai, dan beberapa
bukunya berpusat kepada akar permasalahan yang relatif seragam. Ia menelusuri metode-metode yang digunakan
kelompok Islam Fundamentalis untuk beroperasi.
Islam dan Islamisme; Sebuah Gagasan
Berbagai literatur banyak tersebar telah menyebutkan bahwa Islamisme bukanlah Islam. Hal ini berasal dari gagasan Bassam Tibi dalam bukunya berjudul Islam and Islamism. Dalam bab pertama, Why Islamism Is Not Islam, Bassam langsung menyatakan bahwa Islam adalah keyakinan, sedangkan Islamisme merupakan ciri politik keagamaan. Kelompok fundamental dan radikal seperti Ikhwan Muslilimin, Al-Qaeda, HTI, NII, dan kelompok serupa merupakan manifestasi dari Islamisme menurut Bassam. Lebih dari itu, Bagi Bassam, Islamisme bukanlah warisan Islam, tetapi merupakan interpretasi politik kontemporer atas Islam yang didasarkan pada penciptaan tradisi. Hal itu karena dasar Islamisme sebenarnya berasal dari penerapan ideologis atas ranah agama.
Upaya pendirian Khilafah atau Daulah Islamiah oleh ISIS beberapa tahun lalu misalkan. Kala itu, banyak orang yang berseberangan dengan ISIS dibunuh dan genosida besar-besaran tidak terhindarkan. Itu semua bagi mereka atas dasar menegakkan syariat dan membela kebenaran Islam. Bagi Bassam, justru hal tersebut tidak berdasar pada agama sama sekali. Sebagai ahli Hukum Syariah, Bassam mengeluarkan argumen ijka Tuhan mempercayai apa yang diyakini oleh kaum Islamis, dalam hal ini ISIS, maka istilah syariah akan muncul di setiap halaman kedua atau ketiga dalam Al-Quran. Namun, faktanya kata syariah hanya disebutkan satu kali saja, yaitu di di surat al-Jatsiyah ayat 18, bahkan bukan dalam arti hukum, melainkan dalam arti moralitas atau petunjuk.
Islamisme disebut Bassam juga sebagai politik yang diagamakan (Religionized Politics) atau penawaran tatanan politik yang diyakini sebagai kehendak dari Allah SWT. Bassam kemudian mengemukakan enam ciri utama dengan ideologi Islamisme. Pertama, interpretasi atas Islam sebagai nizam/aturan, Islam adalah din-wa-daulah, agama bersatu dengan negara. Bagi Tibi ciri ini adalah jantung utama islamisme. Jika ide mengenai negara Islam ini belum ditinggalkan. maka orang belum bisa berbicara banyak tentang masyarakat Pos-Islamisme, Kedua, Yahudi sebagai musuh utama yang akan menghancurkan umat Islam.Ketiga, Demokratisasi dan posisi Islamisme institusional. dalam sebuah negara demokratis, Keempat, evolusi jihad tradisional menuju jihadisme. Kelima, syariatisasi negara. Keenam, kelompok Islamis sangat terobsesi untuk mengajukan soal kemurnian sebagai dukungan atas keauntentikan Islam.
Tidak cukup dari pengkategorian di atas, Baasam Tibi juga menyebut Islamisme sebagai sebuah otoriter. Dengan mengambil definisi istilah Hannah Arendt, ia mengkategorikan semua aspek 'agama politik' ini sebagai otoriter. Ia mengungkap sifat Islamisme yang modern dan totaliter dalam penelitiannya, misalnya dalam analisisnya terhadap karya Hassan al-Banna, yang mendirikan Ikhwanul Muslimin di Mesir pada tahun 1928. Gerakan inilah, kata Bassam, yang memunculkan gagasan jihadisme modern dan menegakkan gagasan bahwa Islam tidak sesuai dengan nilai-nilai Barat.
Walhasil, Bagi Bassam, fenomena-fenomena kemanusiaan yang
didasari atas nama agama yang terjadi di Eropa maupun dunia adalah murni berasal
dari konsep yang dibuat atas dasar kepentingan, bukan dari rahim dan konsep
Islam yang menjunjung nilai perdamaian. Reformasi Islam yang sangat dibutuhkan
bukanlah hanya soal jilbab dan janggut. Terorisme hanya akan berakhir jika
kitab suci tidak dipahami secara harafiah. Dalam upaya mencapai masa depan yang
cerah, karya Bassam setidaknya salah satu refleksi dan argumen tambahan bagi
pembaca untuk merespon problem keagamaan yang bisa terjadi kapan saja.
Redaktur: Lalu Azmil Azizul Muttaqin
Posting Komentar