The Will to Change; Menggugat Cinta yang Tertunda dalam Maskulinitas
Sudah lama kita hidup dalam dunia yang mendefinisikan keperkasaan laki-laki sebagai keangkuhan, keperkasaan, dan kekerasan emosional. Dalam buku The Will to Change; Men, Masculinity, and Love, Bell Hooks, seorang feminis dan kritikus sosial terkemuka, melontarkan gagasan bahwa laki-laki—baik sadar maupun tidak—telah dirampas dari ruang emosional yang layak mereka miliki sejak lahir. Tema yang ingin saya soroti dalam tulisan ini adalah ketidakmampuan laki-laki untuk merasakan dan mengekspresikan cinta secara utuh dalam sistem patriarki yang memaksa mereka untuk menjauhkan diri dari emosi. Dalam kata lain, Hooks mengajak kita untuk melihat bagaimana maskulinitas berakar dari ketakutan akan kelemahan, dan bagaimana, dalam banyak kasus, cinta adalah korban pertama dari konstruksi tersebut.
Sejak awal, Hooks menyentuh inti permasalahan yang sering kali diabaikan ketika berbicara tentang patriarki. Buku ini bukan sekadar kritik terhadap kekerasan yang dilakukan laki-laki, tetapi lebih dari itu, ia mengeksplorasi bagaimana sistem tersebut membentuk laki-laki sejak masa kecil, membungkus mereka dalam baju besi yang tak terlihat: "keperkasaan." Bagi Hooks, banyak dari kita gagal memahami bahwa maskulinitas yang kita pelihara tidak hanya merugikan perempuan, tetapi juga melumpuhkan laki-laki, merampas hak mereka untuk merasakan cinta secara asli.
Struktur buku ini memandu pembaca melalui perjalanan maskulinitas yang kompleks. Bab pertama menggambarkan bagaimana patriarki membentuk laki-laki, memaksakan mereka untuk mengasosiasikan kekuasaan dengan kekerasan dan penolakan terhadap kelembutan. Di bab-bab berikutnya, Hooks membahas tentang dampak psikologis dari norma-norma ini, serta bagaimana laki-laki sering kali merasakan isolasi emosional yang mendalam. Ia juga menganalisis hubungan antara laki-laki dan cinta, serta bagaimana relasi gender memengaruhi kemampuan mereka untuk memberi dan menerima cinta. Pada bagian akhir, Hooks menawarkan jalan keluar melalui pendidikan emosional dan feminisme sebagai cara untuk membebaskan laki-laki dari beban patriarki, memberi mereka ruang untuk mencintai dan dicintai dengan penuh kesadaran.
Lalu, bagaimana cinta itu tertunda? Hooks menyoroti bahwa laki-laki, sejak masa kecil, dididik untuk mengesampingkan perasaan mereka. Mereka diajarkan bahwa emosi adalah sesuatu yang feminin, sesuatu yang "lemah." Ketika seorang anak laki-laki menangis, seringkali yang kita dengar adalah nasihat untuk "menjadi laki-laki,"―Jangan menangis! Seperti Perempuan Saja― sebuah ungkapan yang sarat dengan pesan tersembunyi bahwa ekspresi emosi adalah hal yang tak patut bagi laki-laki. Di sinilah Hooks menaruh sorotan, bahwa pendidikan emosi yang berkelindan dengan gender adalah salah satu penyebab utama kenapa laki-laki sulit mencintai dengan bebas.
Dalam bukunya, Hooks memberikan berbagai contoh dan kisah nyata tentang bagaimana laki-laki tumbuh dengan perasaan terasing dari diri mereka sendiri. Mereka tidak hanya diajarkan untuk tidak menangis, tetapi juga untuk menghindari perasaan rentan. Bahkan ketika laki-laki mencintai, sering kali cinta itu menjadi terdistorsi—bukan karena ketidakmampuan mereka untuk merasakan, tetapi karena mereka telah diajarkan untuk menyembunyikan perasaan tersebut. Hooks mengungkap bahwa laki-laki tidak kurang dalam kemampuan mencintai, tetapi mereka justru terpenjara dalam paradigma yang memaksa mereka untuk menolak cinta.
Tema ini sangat jelas dalam penggambaran Hooks tentang bagaimana masyarakat mengidealkan kekerasan dalam maskulinitas. Konstruksi maskulin yang ada di masyarakat, menurut Hooks, cenderung mengasosiasikan kekuatan fisik dengan kontrol, termasuk kontrol atas perasaan sendiri dan orang lain. Laki-laki sering kali dianggap lebih “kuat” jika mampu mengendalikan orang lain, atau setidaknya mampu menekan perasaan mereka. Padahal, pada titik tertentu, penekanan ini akan pecah, baik dalam bentuk agresi atau keterasingan emosional yang melumpuhkan.
Tetapi, Bell Hooks tidak sekadar memberikan kritik; ia juga menawarkan harapan. Baginya, ada jalan keluar dari lingkaran setan maskulinitas ini. Dalam salah satu bagian yang paling menggugah, ia menekankan bahwa langkah pertama untuk mengubah paradigma ini adalah dengan menerima bahwa cinta, kerentanan, dan rasa peduli bukanlah atribut yang eksklusif untuk perempuan. Laki-laki juga berhak dan mampu merasakan cinta, bukan sebagai sesuatu yang harus mereka sembunyikan atau takutkan, tetapi sebagai sesuatu yang membebaskan.
Hooks juga memperkenalkan konsep "loving men," atau mencintai laki-laki, yang menjadi pusat dari solusi yang ia tawarkan. Namun, Hooks tidak berbicara tentang cinta dalam arti romantis semata. Sebaliknya, ia menyerukan sebuah gerakan di mana masyarakat harus mulai memandang laki-laki sebagai individu yang berhak mendapatkan cinta, perhatian, dan rasa hormat tanpa harus berperan dalam pola dominasi. Kita sering kali berbicara tentang cinta sebagai sesuatu yang terbatas antara laki-laki dan perempuan dalam konteks hubungan dikotomi maskulin-feminim. Hooks menantang gagasan ini dengan mengatakan bahwa cinta tidak seharusnya dibatasi oleh gender atau ekspektasi maskulin, melainkan harus menjadi bagian integral dari semua hubungan manusia.
Bagian yang menurut penulis sangat menarik dari buku ini adalah ketika Hooks berbicara tentang hubungan antara laki-laki dengan anak-anak mereka. Dalam budaya patriarki, kita sering melihat peran ayah didefinisikan dalam kerangka disiplin dan kekuasaan. Hooks, dengan lembut tapi tegas, menyarankan bahwa ayah harus belajar kembali untuk mencintai anak-anak mereka dengan cara yang berbeda: bukan sebagai penguasa yang memberikan perintah, tetapi sebagai sosok yang mendukung, mendengarkan, dan hadir secara emosional. Ini adalah salah satu perubahan paling mendasar yang Hooks tuntut dalam buku ini—bahwa laki-laki harus melepaskan peran tradisional mereka yang otoriter jika mereka benar-benar ingin menikmati cinta dan hubungan yang sejati dengan anak-anak mereka.
Hooks juga dengan tegas mengungkap bahwa feminisme adalah salah satu alat penting yang dapat membantu laki-laki dalam perjalanan mereka menuju pembebasan emosional. Namun, ia memperingatkan bahwa feminisme bukanlah sekadar gerakan untuk mengakhiri dominasi laki-laki atas perempuan. Feminisme, menurutnya, adalah tentang memutus rantai yang membelenggu laki-laki dan perempuan dalam sistem yang sama-sama merugikan mereka. Untuk laki-laki, ini berarti belajar kembali bagaimana mencintai tanpa harus merasa terancam oleh gagasan kelemahan atau subordinasi.
Menariknya, Hooks tidak berusaha menyalahkan laki-laki sebagai individu atas kekerasan emosional yang mereka alami dan ciptakan. Ia memahami bahwa mereka adalah korban dari sistem yang lebih besar. Baginya, tanggung jawab laki-laki bukanlah untuk merasa bersalah, tetapi untuk mulai terlibat dalam proses penyembuhan kolektif yang melibatkan kejujuran tentang rasa sakit mereka sendiri dan mengakui kebutuhan mereka akan cinta.
Di penghujung buku, Hooks menawarkan sebuah harapan; bahwa melalui pendidikan emosional dan penghancuran stereotip maskulinitas yang beracun, laki-laki dan perempuan dapat membangun dunia yang lebih baik—dunia di mana cinta tidak lagi tertunda atau dibatasi oleh gender. Melalui cinta yang sejati, Hooks percaya bahwa kita dapat menciptakan hubungan yang lebih sehat, baik antara laki-laki dan perempuan maupun di antara laki-laki itu sendiri.
Walhasil, bagi siapa saja yang tertarik pada
isu-isu gender, buku ini sangat layak dibaca. Bell Hooks, dengan gaya
tulisannya yang penuh perasaan tapi analitis, mengajak kita untuk melihat di
balik tirai maskulinitas yang telah lama mendefinisikan kehidupan laki-laki.
Buku ini tidak hanya untuk mereka yang ingin memahami laki-laki, tetapi juga
bagi laki-laki yang ingin memahami diri mereka sendiri. Dengan membaca buku
ini, kita diingatkan bahwa cinta, pada akhirnya, bukanlah kelemahan, melainkan
kekuatan yang sejati. Kita semua layak mencintai dan dicintai tanpa perlu takut
akan penilaian atau stereotip. Untuk itu, The Will to Change adalah
bacaan penting dalam perjalanan memahami diri sendiri dan orang lain dalam
tatanan yang lebih setara.
Penulis: Lalu Azmil Azizul Muttaqin
Posting Komentar