“Tuhan, Aku Membencimu.”

 


Kokokan ayam menyambut kedatangan sang surya, sepoi-sepoi angin sejuk menyelimuti lereng gunung yang masih aktif hingga saat ini, tak lupa para penghuninya yang sembari mulai menata hari. Begitupula dengan Deri, seorang anak tunggal dari orang tua yang sakit-sakitan. Seorang anak yang terpaksa mengubur mimpinya dalam-dalam. Ia rela menjadi kuli bangunan demi mencukupi keluarganya.

“Pak, Bu, Deri berangkat dulu. Doakan” ucapnya sembari mengecup telapak tangan yang ia yakini dapat membawa keberkahan.

“Iya nak, jaga diri baik-baik” balas seorang tua renta yang melahirkannya 24 tahun silam.

Sesampainya di sebuah bangunan yang harus ia garap, ia disambut senyuman oleh seorang bertubuh tegak yang sangat ia segani, seseorang yang pekerjaannya hanya berkeliling dan melapor ke atasan. Deri memulai kerjanya dengan mengaduk sebuah semen, lalu menempelkannya pada batu-bata hingga berjajar rapi. Ia berhati-hati demi menciptakan bangunan yang kokoh tak tertandingi. Begitulah yang dikerjakannya setiap hari, hingga suara menggelegar menghentikan semua pekerjaan Deri. Tak terkecuali pekerjaan seluruh pekerja yang lain.

“Semeru meletus, semeru meletus!” Teriakan tak terhindarkan. Sekilas mata mereka membelalak.

“Lari, lari!”

Teriakan-teriakan membuat keadaan menjadi semrawut, semua orang menyelamatkan diri sendiri tanpa memikirkan yang lain. Pondasi bangunan yang dibangun sepenuh hati pun ditinggalkan begitu saja. Semua berlari menjauh dari lereng, kecuali Deri, ia justru melawan arah. Dalam pikirannya hanya bagaimana nasib dua orang tua yang menjadi satu-satunya harta berharga miliknya saat ini. Ia terus berlari tidak menghiraukan siapapun, pikirannya kalang kabut dan keputusannya sudah bulat.

“Lari! Jangan ke sana! Buat apa kamu ke sana!” teriak seorang bapak yang berlari sambil menarik tangan Deri dengan kuat, mencegahnya ke arah lereng.

“Aku mau ke rumahku, aku harus menyelamatkan harta berhargaku” jawabnya dengan nada memberontak.

“Untuk apa?!? Harta bisa dicari nak!”

“Hartaku, ayah dan ibuku” jawabnya dengan gelisah yang tak henti.

Namun, semua tekadnya terhenti, awan panas itu semakin mendekat. Bapak tersebut langsung menarik Deri memaksanya untuk lari. Deri yang telah tak tau harus bagaimana ia mengikuti tarikan bapak tersebut dengan lemah. Sisanya dia hanya berdoa, semoga hartanya yang paling berharga tersebut semuanya selamat dan tidak diambil oleh siapapun, termasuk Tuhan.

Mereka akhirnya berkumpul dengan para pengungsi yang lain. Semua wajah sama, merenggut dengan pikiran yang tidak jelas. Hingga para penyelamat datang pun, wajah itu tidak berubah sama sekali. Ketika semua duduk sambil berpelukan memberi kekuatan, Deri justru berlari menuju para penyelamat. Memintanya pergi ke rumahnya menyelamatkan hartanya. Ia berteriak ke semua orang sampai memaki mereka yang tidak mendengarkannya namun kembali lagi, evakuasi memiliki skala prioritas penyelamatan. Akhirnya ia kembali dengan perasaan yang putus asa dan memilih beristirahat agar besok ia bisa mencarinya sendiri, pikirnya.

Keesokan harinya, ia dibangunkan dengan jeritan dan tangisan orang-orang yang keluarganya telah ditemukan atau telah tiada. Ia langsung bangun dan berlari, melihat daftar nama korban yang telah terpampang. Namun hasilnya nihil, harta berharga yang ia perjuangkan tidak ada dalam daftar tersebut. Ia memberontak dengan marah, mencemooh seluruh penyelamat yang katanya tidak bertanggung jawab.

“Dasar tidak becus! Berhenti saja dari pekerjaanmu jika kau tidak bisa melaksanakannya dengan baik!” makinya dengan menunjuk ke arah orang-orang berrompi oranye.

“Berhenti saja dari pekerjaanmu! jangan sok-sokan menyelamatkan nyawa orang!” tambahnya dengan teriak diiringi tangisan.

Namun sama saja, tidak ada yang menghiraukan makian menyebalkannya itu. Semua tetap fokus pada pekerjaannya. Deri pun sudah tidak bersemangat lagi, ia berpikir tidak ada orang yang mengertinya dan tidak ada yang mau menolongnya. Ia ingin berlari sendiri namun kepungan tim penyelamat tidak bisa ditembusnya. Bajunya yang lusuh menggambarkan bagaimana keadaan hati, pikiran, dan kehidupannya saat ini. Kali ini ia sudah tidak bertenaga lagi dan memilih duduk lesu dengan pikiran yang kosong tak punya masa depan.

Sore harinya, ia mendengar bahwa saat ini waktunya evakuasi daerah tepi lereng gunung, tempat dimana harta berharganya tersimpan. Tanpa disadari wajah lusuh itu kembali sumringah, harapan itu kembali lahir di lubuk hati kecilnya, bibirnya tak henti mengucapkan mantra pada Tuhan pemilik segalanya. Semoga harta berharga yang tersimpan dalam bangunan kotak beratap itu kembali dengan utuh tanpa kurang sedikitpun. Ia tetap setia menunggu, mondar-mandir melihat orang yang dibopong dengan tandu, memastikan apakah harta berharganya menjadi salah satu yang diangkut oleh tandu itu.

Lagi-lagi harapannya pupus, menjadikannya semakin tak karuan. Ia semakin marah, melempar semua barang yang dilihatnya, mengacak-ngacak tenda pengungsian, berteriak sambil memaki, hingga ia lupa bahwa ia memiliki Tuhan untuk kembali.

Karena membuat kegaduhan, ia dibawa ke tempat pengungsian yang lebih tertutup. Ia diberikan kamar sendiri dengan tujuan agar bisa menenangkan diri dan berpikir jernih. Namun, ia tetap menangis tak henti, hingga tidurpun ditemani oleh banjir air mata yang tak henti.

Sinar mentari menembus jendela bening diujung ruang, ketukan pintu membangunkan Deri. Dengan jalan yang sempoyongan ia membukakan pintu tanpa tersenyum. Rupanya seorang ketua penyelamat yang membawa kabar tentang harta berharganya.

“Apa benar kamu Deri?” tanya seorang tersebut sambil menatap matanya yang sedu.

“Hmm.” jawabnya tanpa ekspresi.

“Saya disini hanya ingin menyampaikan bahwa tim penyelamat telah membawa harta yang kau cari selama ini.”

Ia langsung berlari keluar, menabrak orang, sesekali terjatuh dan bangkit untuk lari kembali. Sesampainya di tempat pengungsian umum ia melihat para korban yang luka-luka berjejer sedang disuntik dan diberikan obat namun tak ada satupun tujuan yang ingin ia temui. Dengan harap-harap cemas ia menuju tempat dimana tak satupun orang ingin pergi kesitu. Ia memberanikan diri namun berharap bahwa harta berharganya tidak ada di tempat itu. Matanya mengelilingi ruangan itu dengan rinci, sampai seorang mencolek dirinya.

“Sedang mencari siapa kamu?” tanya dengan wajah datar.

“Harta berhargaku.” jawabnya.

“Apa?” tanya seorang petugas kebingungan.

“Kedua orang tuaku”

“Siapa namanya?”

“Ibu Adri dan Pak Meru.”

“Mereka ada diujung barisan paling depan.” Jawabnya setelah membuka tumpukan kertas di tangannya.

Mendengar jawaban tersebut ia tak percaya, ia terkejut tetap berharap bahwa ini semua tidak benar. Dengan langkah perlahan ia mendekat ke tempat yang telah dikatakan petugas tersebut. Ia memberanikan diri membuka resleting kantong pembungkus manusia itu, tak lama ia langsung terduduk menangis dengan teriakan yang mengguncang dunianya, hingga ia tak sadarkan diri. Benar, kedua harta berharganya telah kembali, namun kembali pada Tuhan.

Akhirnya ia dibawa kembali ke tempat pengungsiannya, diberi wangi kayu putih agar menyadarkannya, disiapkan minuman dengan pil berwarna putih di sebelahnya, hingga ia berhasil sadar lalu kembali tidur karena obat penenang yang ditelannya.

Matanya terbuka, dengan rasa sangat putus asa, ia tak berkeinginan bangkit sama sekali, untuk apa bangkit jika Tuhan sejahat ini, batinnya. Bahkan ia berharap tidurnya nyenyak dan tak ada yang membangunkan. Ia menatapi seluruh ruangan dengan sedu, hingga pada satu sudut ia memikirkan hal yang tak semestinya ia pikirkan.

Ia berjalan mendekat, mengambil apa yang diincar bola matanya. Tangannya meraih dengan tatapan mata yang tak berkedip. Sambil menangis ia mengarahkan benda tersebut pada nadi kehidupannya, diiringi rasa penuh kebencian pada Tuhan. Ia sudah tidak tahu apa arti hidup dan lebih baik mengakhirinya, batinnya.

“Berhenti! Kau sudah gila!” teriakan seorang petugas yang mengantarkan makan malam ke ruangannya.

“Untuk apa lagi aku memandang dunia ini jika keindahan di dalamnya telah hilang?!? aku hanya akan hidup dalam kebencian pada manusia dan penciptanya!” jawabnya dengan menangis.

“Semua ini sudah takdir Tuhan, kau harus menerimanya nak!”

“Takdir?!? Kau bilang takdir?!? Tapi mengapa takdirku selalu tidak memihakku. Aku hidup penuh kemiskinan, orang tuaku sakit-sakitan, aku mengubur dalam mimpiku yang telah kurancang, dan sekarang Tuhan mengambil harta berhargaku yang tersisa!”

“Nak, aku paham. Kau boleh membenci Tuhan tapi ingatlah Tuhan tidak akan pernah membencimu. Kau boleh membentak Tuhan tapi ingat Tuhan akan selalu mengelus kepalamu. Kau boleh marah pada Tuhan tapi ingat Tuhan akan selalu memaafkanmu ketika kau kembali padanya.”

Dalam pelukan hangat yang menguatkan, ia mengeluarkan seluruh kebenciannya pada Tuhan. 

  

Redaktur: Arifatun Nisa Birizqil Adhim

Editor: Lalu Azmil Azizul Muttaqin

Posting Komentar

To Top