Mawlana: Wajah Seorang Ustaz dalam Sorot Lampu Kamera
0
Komentar
Sekilas tentang Mawlana
Mawlana bercerita tentang Hatem el-Shenawi, seorang ustaz televisi yang memiliki karisma luar biasa. Dengan wajah teduh dan bahasa yang menggugah hati, Hatem menjadi idola jutaan pemirsa. Kata-katanya adalah fatwa, dan nasihatnya adalah pencerahan.
Pada awalnya, Hatem hanyalah seorang penceramah “kampung” pada umumnya. Sebagaimana penceramah pada umumnya, ia berceramah di sebuah Masjid di sebuah desa. Aktivitas itu ia lakukan bertahun-tahun. Seakan ditakdirkan Tuhan, suatu hari secara tidak sengaja, ia berkesempatan mengisi khutbah Jum’at di sebuah Masjid bersejarah di pusat kota Kairo.
Di hari itu, Hatem memainkan perannya sebagai khatib. Hatem adalah Hatem. Seorang penceramah yang memiliki gaya dan kemampuan retorika yang sangat baik. Para hadirin terpikat mendengarkan tiap kalimat yang keluar dari mulutnya. Tak disangka, selepas pelaksanaan salat Jumat, salah seorang jamaah menghampirinya dan mengutarakan kekagumannya pada cara penyampaian Hatem. Usut punya usut, sosok yang menghampiri Hatem tersebut adalah seorang produser TV.
Sang produser menawarkan Hatem untuk mencoba perungan di dunia pertelevisian. Tidak lama, kesepakatan antara mereka berdua terjadi. Dari sanalah hidup Hatem berubah drastis. Tidak hanya itu, konflik kehidupan Hatem juga bermula dari dunia pertelevisian itu.
Konflik bermula ketika dia berurusan dengan putra presiden Mesir dan membawanya kepada lingkaran politik yang cukup kompleks. Selain itu, ia juga berhadapan dengan isu-isu intoleransi beragama dan pihak-pihak yang menginginkan perpecahan terjadi di Negara Mesir.
Ibrahim Issa menggarap narasi ini dengan cermat, menampilkan sisi manusiawi yang sering tak ingin kita akui dari figur-figur religius. Hatem lebih dari seorang penceramah, ia adalah bagian dari industri agama yang besar—sebuah bisnis moralitas yang melibatkan politik, kapitalisme, dan perselingkuhan antara keimanan dan kepentingan.
Novel ini juga menggambarkan bagaimana televisi mengubah cara agama dikonsumsi. Jika dulu khotbah disampaikan di masjid, kini ia harus menyesuaikan diri dengan ritme media: harus singkat, menggugah, dan tentu saja menghibur. Agama menjadi produk yang dipasarkan dalam format audio-visual, dan para dai selebritas harus bisa bersaing dengan acara lain untuk menarik perhatian pemirsa.
Agama dalam Bayang-bayang Kapitalisme
Dari sekian banyak tema yang diangkat novel ini, satu yang paling menarik adalah bagaimana agama
dijadikan alat bagi kepentingan kapitalisme. Hatem el-Shenawi adalah merek. Seperti yang ditulis
Karen Armstrong dalam The Battle for God (2000), agama dalam dunia modern sering kali harus
bernegosiasi dengan realitas ekonomi dan politik. Di tangan industri media, agama tak lagi sekadar
pengalaman spiritual, melainkan sebuah produk yang harus dikemas menarik agar laku di pasaran.
Ibrahim Issa, dengan gaya satirnya, menunjukkan bagaimana Hatem dan para dai selebritas lainnya
beradaptasi dengan logika kapitalisme. Mereka bukan hanya menyampaikan ajaran agama, tetapi
juga menjual produk—dari buku hingga air zamzam dalam kemasan eksklusif. Agama menjadi
komoditas, dan ustaz adalah bintang iklan.
Ini mengingatkan kita pada fenomena yang juga terjadi di Indonesia. Ustaz seleb yang wara-wiri di
televisi sering kali lebih dikenal karena branding mereka ketimbang kedalaman ilmu mereka. Fatwa-
fatwa mereka lebih sering berbentuk “quotes” ketimbang hasil kajian mendalam. Dan, seperti
Hatem el-Shenawi, mereka harus menyeimbangkan kepentingan antara dakwah dan pasar.
Antara Agama dan Kekuasaan
Di luar kapitalisme, Mawlana juga menyoroti bagaimana agama digunakan untuk kepentingan
politik. Di Mesir, hubungan antara ulama dan pemerintah adalah simbiosis yang sudah berlangsung
lama. Para pemuka agama yang mendukung rezim mendapat tempat dan fasilitas, sementara
mereka yang kritis sering kali berakhir di penjara.
Hatem, sebagai figur publik, harus bermain aman. Ia harus menjaga hubungan baik dengan
pemerintah dan menghindari isu-isu yang terlalu sensitif. Dalam hal ini, Issa menunjukkan
bagaimana penceramah tidak bisa benar-benar bebas. Mereka berada dalam lingkaran yang tak
mudah ditembus, di mana agama, politik, dan media saling mengendalikan.
Di Indonesia, fenomena ini juga tampak jelas. Beberapa ustaz selebritas dekat dengan elite politik,
sementara yang lain dikriminalisasi karena dianggap terlalu vokal. Seperti yang diungkapkan oleh
Olivier Roy dalam The Politics of Chaos in the Middle East (2008), politik dan agama di dunia Muslim
modern sering kali tidak bisa dipisahkan. Mereka saling memanfaatkan, tetapi juga saling
mengancam.
Agama, Media, dan Dilema Moral
Ibrahim Issa tidak memberi jawaban dalam Mawlana. Ia hanya mengajak kita bertanya: apakah
agama bisa tetap suci ketika sudah menjadi bagian dari industri hiburan? Bisakah seorang
penceramah tetap otentik ketika ia harus memikirkan rating dan sponsor? Dan, yang paling
penting, di tengah era media yang serba cepat ini, bagaimana kita sebagai umat beragama memilah
mana yang dakwah dan mana yang hanya sekadar pertunjukan?
Sebagaimana yang kerap diingatkan Goenawan Mohamad dalam catatan-catatan Catatan Pinggir-
nya, “Yang semula lahir dari kesalehan bisa jatuh menjadi sekadar kebiasaan.” Dalam dunia
modern, kesalehan pun bisa jatuh menjadi sekadar tontonan. Ibrahim Issa hanya mengajak kitauntuk tidak lupa melihat di balik panggung—tempat di mana agama bisa saja kehilangan sakralitasnya, dan di mana keimanan diuji bukan oleh godaan iblis, tetapi oleh sorot lampu kamera.
Judul buku: Mawlâna Penulis:
Ibrahim Isa
Penerbit: Dar Bloomsbury, Qatar Foundation Publishing Tebal buku: 554
Posting Komentar