Hidup di “Dunia Yang Berisik”
0
Komentar
Kita percaya bahwa perubahan zaman akan mengubah bentuk kehidupan pada taraf yang berbeda dari sebelumnya. Kalaupun tidak, minimal ia akan menyuguhkan ‘warna’ baru pada pola kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Akan tetapi, siapa yang menduga bahwa transformasi tersebut akan membawa bangsa ini pada suatu level “dunia yang berisik”? Sebuah kehidupan yang lebih mengutamakan ‘tutur’ (perkataan) ketimbang ‘lektur’ (pembacaan).
Bangsa Kita Terlalu Sibuk
Tidak kah kita sedang menyaksikan para pemimpin-pemimpin kita lebih suka bicara (seringnya sesuatu yang serampangan) di podium ketimbang bertindak secara nyata dan terbukti? Juga beberapa pendakwah yang lebih pandai beretorika daripada mengakji dan memahami nas-nas agama beserta kaidahnya secara mendalam?
Begitu pun informasi dan tontonan yang sedang sibuk digarap oleh kantor berita dan televisi—akhir-akhir ini—untuk disuguhkan hanya sebagai ‘hiburan’ meski terlihat tak begitu berkualitas dan mendidik? Demikian juga, sosial media, ia turut menciptakan “ruang kehidupan” yang begitu menggema. Dengannya, ia berhasil membawa masyarakat kita pada ‘dunia lain’, dunia yang tidak mereka ketahui secara pasti, tetapi mereka tenggelam sepanjang hari di dalamnya dan mengikuti segala aktivitasnya, bahkan terkadang menjadikannya tuntunan sekaligus tuntutan kehidupan.
Sebagai contoh, masyarakat kita ini tidak ingin ketinggalan partisipasi ketika melihat— di sosial media—ada seseorang yang dihakimi dan dicela karena sebuah kesalahan kecil. Padahal, mereka tak pernah mengenal dan menemuinya, alih-alih mengetahui kesalahannya. Bahkan, mereka juga terkadang terdorong untuk turut ‘memborbardir’ kerabat dekatnya. Jika ini tidak terjadi, barangkali, polemik mengenai klan Ba’alawi kemarin juga tidak akan muncul dan menjadi ramai diperbincangkan publik.
Kini, sosial media juga berhasil menyibukkan masyarakat kita pada sesuatu yang sebenarnya tidak bisa mereka jangkau. Ini bukti bahwa bangsa kita terlalu banyak dan suka mempersoalkan sesuatu, mulai dari yang kecil hingga besar, mulai dari yang sepele hingga yang penting, mulai dari keagaamaan hingga kebijakan, juga mulai dari persoalan yang berskala nasional hingga lingkup masyarakat paling kecil.
Sepertinya, tidak ada lini yang sepi dari persoalan-persoalan yang menimpa bangsa ini untuk dapat dibahas dan dipermasalahkan. Berbagai polemik yang terjadi di bangsa ini begitu cepat menciptakan ‘suara-suara’ yang saling bersahutan, alih-alih berusaha diselesaikan. Hampir setiap elemen di dalamnya berbenturan satu sama lain. Masing-masing bersuara untuk menuntut haknya. Tidak peduli apakah itu akan mengambil dan menghilangkan hak orang lain atau tidak. Kenyataan yang kita saksikan saat ini, bangsa kita ternyata masih enggan mengakui bahwa kebanyakan tokoh, masyarakat, dan pemimpinnya begitu egois dan materialistis, mungkin juga ada yang kapitalis.
Hal demikian itu—secara tidak sadar—justru menunjukkan bahwa pola kehidupan kita telah berubah ke arah individualisme. Standar penilaian yang kita bangun terhadap sesuatu—sekarang ini—hanya cukup disandarkan pada keinginan serta kemauan kita masing-masing. Hampir kita tidak memiliki ruang dan kesempatan untuk melihatnya melalui ‘kacamata’ yang lain.
Kebanyakan masyarakat kita akan merasa kesulitan membiarkan pandangan liyan melebur di dalam pikirannya, apalagi merasa peduli untuk memenuhi hak-hak orang lain. Maka, tak perlu heran jika akhir-akhir ini bangsa kita sukar, bahkan hampir tidak pernah menemukan ketenangan dan kedamaian, lebih-lebih nilai persatuan antarmasyarakat di dalamnya. Itu disebabkan transformasi daripada dunia ini sendiri yang tak pernah ditelaah melalui sudut pandang ‘pembacaan’ sebab telah tertutupi dengan gaya dan bentuk kehidupan yang didominasi ‘perkataan’.
Pola Kehidupan Masyarakatnya
Perkara yang sedemikian rupa itu memang tidak jauh berbeda dengan sikap kebanyakan masyarakat kita—atau barangkali kita termasuk di dalamnya—ketika dihadapkan pada posisi diplomatik—untuk tidak mengatakannya ‘menjilat’. Paling seringnya, dalam hal ini, keahlian retorika dalam memuji seseorang secara berlebihan juga banyak digunakan agar ia bisa menjadi ‘orang dekatnya’, atau paling tidak hanya sekadar mendapat simpati, baik itu dilakukan secara langsung maupun melalui berbagai jejaringan sosial media yang ada. Tidak sedikit pula, pada kondisi selanjutnya, mereka terjatuh pada apa yang penulis sebut sebagai “pembelaan tanpa logika.”
Keadaan seperti ini juga kerap kali memaksa kita berbicara untuk hanya sekadar menyenangkan orang lain. Atau, bahasa iritnya, cuma basa-basi. Penulis tidak hendak menganggap basa-basi merupakan aktivitas tidak berguna, tetapi pada realitansya, perkara ini sering kali tidak digunakan dan diposisikan secara benar. Katakan, seseorang rela mengucapkan kata-kata ‘kotor’, hinaan, atau celaan kepada liyan hanya untuk dianggap lucu dan sepihak dengan pendapat lawan bicara ketika berada di suatu tongkrongan ataupun sesuai dengan opini publik di berbagai kanal sosial media.
Dalam dunia siber, fenomena yang terjadi justru sangat memilukan dan begitu liar. Jasa buzzer begitu dicari dan diandalkan dalam menggiring opini publik. Bahkan, sekelas lembaga pemerintahan disediakan anggaran khusus untuk menyewa jasa buzzer. Ini sebagaimana juga dikuatkan oleh penemuan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang diperoleh melalui penelusuran pengadaan barang dan jasa (PBJ) pemerintah pusat. Per hari ini, jasa tersebut merambat menjadi kebutuhan masyarakat umum, mulai dari kebutuhan untuk menaikkan reputasi sosial, menjatuhkan rival maupun kompetitor.
Kondisi sedemikian rupa ini barangkali terlihat sepele dan samar. Namun, secara tidak langsung telah menghadapkan bangsa kita pada sebuah posisi yang sulit dan membingungkan. Ia tidak tahu hendak mengarah dan berjalan ke mana. Tidak pada kemajuan, juga tidak kemunduran. Ia seolah berdiri di antara dua jurang terjal, jika tak berhati-hati dalam bertindak dan melangkah, bisa jatuh terperosok ke dalamnya.
Menuju Ke-beradab-an
Umar bin al-Khattab, seorang sahabat Nabi SAW, pernah menyampaikan sebuah riwayat: “…barangsiapa yang banyak bicaranya, maka banyak pula kekeliruannya…” Perkataan ini cukup pantas menggambarkan keadaan masyarakat di sekeliling kita saat ini. Tidak sedikit orang yang ‘terpeleset’ akibat perkataannya sendiri, mulai dari rakyat biasa, pendakwah hingga pemimpin bangsa ini. Klaim tersebut cukup untuk menggambarkan bahwa, di zaman ini, fungsi lisan lebih diandalkan ketimbang fungsi akal.
Padahal, 87% penduduk bangsa ini memiliki kitab suci yang mensyariatkan agar mereka memaksimalkan fungsi akal dalam memandang setiap kejadian yang ada. Bersamaan dengan itu, Nabi Muhammad SAW, junjungan utama kita, telah memberikan teladan terkait perkara ini. Prof. Dr. Muhammad Abu Musa, ulama ahli balagah dari al-Azhar, menuliskan dalam salah satu esainya di Majalah al-Azhar (edisi Syakban) bahwa dalam berbicara, sebelum lisannya mengucap sesuatu, Nabi Muhammad SAW lebih dahulu memilah dan menelaah apa yang hendak beliau ucapkan. Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa sikap seperti ini merupakan ciri manusia yang fungsi akalnya lebih diutamakan dan didahulukan ketimbang lisannya. Dengan begitu, ia tidak akan mudah keliru dan akan lebih berhati-hati dalam berbicara sehingga tidak akan keluar dari lisannya kecuali ucapan yang memiliki kadar kebermanfaatan bagi banyak orang.
Bahkan, lebih jauh, al-Qur’an telah memperingatkan agar jangan sampai mereka mengatakan apa yang tidak dapat mereka lakukan. Jika ditelisik lebih mendetail, dalam Tafsir al-Thabari, peringatan ini mengisyaratkan tentang orang-orang yang sebenarnya telah berucap dan berjanji melakukan suatu perbuatan yang bernilai tinggi di hadapan Allah SWT, tetapi mereka enggan melakukannya ketika telah mengetahui bentuk perbuatan tersebut tidak mampu mereka lakukan. Atau jika disesuaikan dengan keadaan masyarakat sekarang, sebenarnya memiliki interpretasi yang sama meski kondisinya berkebalikan dan berbeda.
Perubahan yang terjadi benar-benar telah membawa bangsa kita pada pola kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang berbeda dari sebelumnya. Suatu kondisi yang sukar untuk dapat dikatakan sebagai level kehidupan berperadaban sebagaimana juga yang telah dicita-citakan oleh bangsa kita sejak awal. Dengan kondisi ini, wujud pembangunan koeksistensi berbalut persatuan dan kedamaian antarmasyarakat di negeri ini, masih memerlukan waktu untuk dapat menemukan ujungnya.
Tentu, ini perlu disikapi secara serius dan cermat, tidak hanya oleh pemerintah, tetapi juga seluruh elemen masyarakat dan dinamika sosial di dalamnya. Tak mengapa meski membutuhkan waktu yang sedikit panjang sebab membangun koeksistensi serta menghadapi tantangan perubahan bukan perkara yang mudah, lebih-lebih di “dunia yang berisik” seperti ini.
Bahwa keberhasilan Nabi Muhammad SAW dalam mengubah masyarakat jahiliah yang amoral menjadi masyarakat yang berperadaban dan menjunjung tinggi moralitas juga tak dilakukan dalam waktu singkat. Perubahan fundamental tersebut ditempuh dalam tempo kurang lebih 23 tahun. Itu artinya, penyikapan terhadap suatu kehendak perubahan harus diamati dan ditelaah secara perlahan serta kehati-hatian, penuh kecermatan dan keseriusan, bukan hanya sekadar penyampaian. Pun, seyogianya juga dibarengi dengan beberapa peranti pendukung seperti ‘jalan pikir’ yang panjang, perenungan mendalam, persiapan yang matang, serta pembacaan yang luas sekaligus saksama.
Juga, hal terpentingnya, kita belum terlambat menyadari bahwa bangsa kita memang begitu sibuk dan berisik untuk saat ini. Sampai-sampai, ia tak memberikan kita ruang untuk berintrospeksi, berpikir, dan merenung mengenai tujuan pembangunan dan cita-cita yang sebenarnya. Kendati begitu, selanjutnya, kita perlu sama-sama yakin bahwa suatu saat bangsa kita akan mampu menembus dinding dan keluar dari “dunia yang berisik” ini. Tabik!
Redaktur: Muhammad Reza Pahlevi Mufarid
Posting Komentar